Sunday, June 5, 2016

Menebak Alasan Menjadi Fans Klub Bola

Real Madrid baru saja menegaskan dirinya sebagai juara Liga Champion Eropa mengalahkan tim satu kotanya di Spanyol, Atletico Madrid melalui perjuangan keras yang diakhiri dengan kemenangan dramatis lewat adu penalti yang berakhir dengan skor 5-3 untuk Real Madrid. Kemenangan ini sekaligus menorehkan sejarah baru bagi Real Madrid karena merupakan satu-satunya tim yang telah mengoleksi trofi "si kuping besar" terbanyak sepanjang pagelaran turnamen ini, tidak tanggung-tanggung sudah sebanyak 11kali.
***
Menyaksikan partai final pertandingan sepakbola sekelas Liga Champion di televisi tidaklah seru apabila ditonton sendirian di rumah. Semuanya serba tanggung dilakukan. Mau teriak salah, tidak teriak juga salah. Mau lompat-lompat disangka orang gila, duduk diam serasa nonton wayang saja. Yang bikin lebih tidak menarik, tidak ada bumbu saling sindir antara masing-masing pendukung. Komentar-komentar bernada provokasi dipastikan tidak terdengar.
Sadar akan hal itu, sejak kedua tim dipastikan berlaga di babak final saya telah merencanakan untuk ikut gelaran nonton bareng yang dihelat oleh beberapa pecinta bola di beberapa titik kota ini.
Lokasi nonton bareng yang saya pilih pertama adalah Cafe Italia La Cucina. Sebagian besar penonton di cafe ini adalah bule. Hanya satu meja yang ditempati orang lokal termasuk saya di meja itu. Saya yakin semua bule ini berasal dari satu negara yaitu dari negeri penghasil pizza. Apalagi kalau bukan Italia. Keyakinan saya beralasan maklum pemilik cafe ini orang Italia dan bahasa yang mereka gunakan saat itu terdengar seperti istilah sepakbola di Italia.
Rupanya kehadiran mereka di cafe ini buka semata-mata ingin menyaksikan pertandingan bergengsi ini. Sepasang bule ada yang terlihat sedang asyik ngobrol tanpa sekalipun matanya tertuju ke layar lebar yang terbentang di dinding cafe. Ada bule yang sedang memainkan handponnya dengan sesekali meneguk bir langsung dari botol yang berjejer rapi di atas mejanya. Namun tidak sedikit yang histeris pertanda dia begitu bersemangat dalam mendukung tim favorinya. Tidak nyaman dengan suasana di cafe ini, saya mencari lokasi nonton bareng lain.
Jeda babak pertama, saya memutuskan pindah ke tempat lain dengan menyusuri jalan mengarah ke pelabuhan.
Rupanya di pintu gerbang pelabuhan Pelni ini juga digelar nonton bareng. Jumlah penontonnya berjubel jauh lebih banyak dari penonton di cafe tadi. Semua penonton disini orang lokal sehingga sangat seru mendengar komentar-komentar lepas mereka. Nonton bareng digelar dengan memajang layar lebar ukuran 3 x 4 meter di sisi jalan masuk pelabuhan. Sedangkan para penonton rela lesehan dengan menselojorkan kaki ke depan. Riuh penonton tak pernah berhenti sepanjang pertandingan.
***
Ada yang menarik dengan tingkah polah penonton saat menyaksikan nonton bareng pertandingan bola seperti ini. Dengan jelas kita dapat melihat jenis dan tipe penonton bola secara berbeda-beda. Paling tidak saya mengklasifikasikan sebagai berikut:
Pertama, Penonton gamang.
Tipe penonton seperti ini senangnya hanya ngumpul-ngumpul saja. Biasanya tim yang bermain dan mendapatkan paling banyak dukungan, di situlah dia berpihak. Perasaannya biasa-biasa saja saat tim yang didukungnya menang bahkan kalah sekalipun. Baginya yang penting hanya konkow-konkow di keramaian. Ketika Real Madrid mencetak gol duluan, penonton ini yang bersorak paling keras. Lucunya saat Atletico Madrid berhasil mencetak gol balasan, dia pula yang terlihat paling girang.
Kedua, Penonton petaruh.
Tipe penonton bola seperti ini hanya mendukung tim yang menurutnya berpeluang besar menang. Entah menang normal atau menang agregasi. Biasanya tipe seperti ini telah terikat perjanjian khusus diantara mereka. Bisa saja tim yang didukungnya kalah tetapi karena perjanjian terbatas tadi timnya dianggap pemenang. Baginya tidak masalah tim yang didukungnya kalah asal dia menang taruhan. Boleh saja Real Madrid yang mengangkat trophi juara namun sesungguhnya dialah yang menerima hadiah uang taruhan.
Ketiga, penonton pecundang.
Penonton dengan tipe ini sengaja menonton bola untuk mendukung tim sepakbola yang kebetulan akan bentrok dengan tim yang pernah mengalahkan timnya sehingga timnya itu tidak lolos ke babak berikutnya. Biasanya penonton seperti ini nyaris tidak mau menerima kekalahan timnya padahal saat bertanding timnya dianggap sangat mendominasi permainan.
Baginya siapapun lawan dari tim yang dibencinya pasti akan didukungnya. Saat Real Madrid versus Atletico Madrid, para pendukung Barcelona (Barcelonistas) terpecah belah. Ada yang mendukung Real karena Atletico telah membuyarkan mimpi Barcelona melaju ke final. Sebaliknya ada juga yang mendukung Atletico karena Real merupakan musuh bebuyutan Barcelona di liga Spanyol.
Keempat, tipe penonton labil.
Tipe penonton seperti ini memiliki klub favorit lebih dari satu. Biasanya hampir setiap negara yang memiliki liga bergengsi selalu saja ada tim yang menjadi favoritnya. Ketika tim favoritnya sama-sama bentrok, maka dia akan mendukung dua-duanya. 
Kalaupun terpaksa salah satu timnya itu harus tersingkir lebih awal, dia akan mendukung tim lainnya untuk menjadi juara. Pada saat nonton bareng, beberapa penonton yang ada sebenarnya pendukung Bayern Munchen Jerman, namun karena klub itu harus angkat koper terlebih dahulu, mau tidak mau dia harus mendukung tim lainnya yang berlaga. Bisa Real dan tidak menutup kemungkinan Atletico juga didukungnya.
Kelima, penonton fanatik.
Penonton bertipe ini memiliki klub favorit semata wayang. Kegandrungannya pada satu klub luar biasa. Merekalah yang biasa disebut fans berat atau fans sejati. Apapun yang terjadi pada klubnya, tak pernah sedikitpun mereka surut mendukung. Biasanya saat mereka ikut nonton bareng, segala atribut klub dibawa serta. Kostum, topi, jaket dan syal mereka kenakan bahkan bendera klub bebagai ukuran dikibar-kibarkan. Mars klub dinyanyikan serempak.
Jangan sekali-kali berdebat soal pengetahuan klub dengan mereka. Info tahun berdiri klub, prestasi yang pernah diraih dari berbagai ajang, nama stadion, nama lengkap pemain, hingga bursa transfer pemain masuk dan keluar klub telah dihafal di luar kepala. Satu hal yang membuat mereka selalu kompak karena tergabung dalam satu ikatan suporter klub.
Inilah pendukung sejati Real Madrid atau fans berat Atletico Madrid yang dengan setia mendukung timnya tampil habis-habisan. Madridista dan Frente Atletico. Namun ada juga penonton yang fanatik berat pada tim lain selain el Real dan Los Rojiblancos yang saat itu bertanding. Seperti saya yang merupakan penggemar sejati Inter Milan. Saya hanya menonton keseruan pertandingan sepak bola ini tanpa harus mendukung salah satu tim yang harus menang karena dari dulu, kini dan akan datang saya adalah Interisti sejati.
***
Saat pertandingan final berlangsung, anda termasuk klasifikasi penonton dan pendukung yang mana?

Labuan Bajo, 29 Mei 2016

Saturday, May 28, 2016

Mimpi dan Doa Seorang Ibu Penjual Kue

Tak bisa dipungkiri, setiap orang tua sangat menyayangi anak-anaknya. Segala daya upaya rela dilakukan demi memberikan sesuatu yang terbaik kepada buah hatinya. Tanpa bermaksud menyepelekan peran seorang bapak, kehadiran seorang ibu menjadi sangat berarti bagi kehidupan anak-anaknya.
***

Masih gulita, Ibu itu telah bangun dari tidurnya. Ia memang terbiasa bangun mendahului kokok ayam jantan di pagi buta. Ia terjaga dari tidur lelapnya jauh sebelum muadzin mengumandangkan adzan shubuh. Anehnya, tanpa alarm pengingat waktu, kesadarannya sepertinya sudah tersistem otomatis untuk memaksanya bangun di sekitar jam setengah empat dini hari.  Tak pernah meleset, setiap hari, selalu begitu, dan entah kapan akan diakhirinya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan ia melakukan semua itu. Ia memang sengaja bangun secepat itu karena ingin segera membuat penganan untuk dapat dijual di pagi hari. Maklum, jenis penganan yang dibuatnya setiap hari beraneka ragam, meskipun masih seputar kue-kue tradisional. Cara membuatnya lumayan menyita waktu sehingga harus pandai-pandai mengatur waktu agar dapat selesai tepat waktu. Kue buatannya ada yang berbentuk lonjong, bulat, persegi panjang dan berlubang. Ada yang dibungkus daun pisang, dilumuri gula merah, dan ditaburi wijen. Ada yang digoreng, dikukus bahkan dibakar atau dipanggang. Pekerjaannya tidak berhenti sampai semua kue buatannya matang. Setelah menunaikan sholat shubuh, ditatanya kembali semua kue berdasarkan jenis dan bentuknya dalam beberapa wadah khusus untuk selanjutnya dijual di emperan toko pinggir jalan raya. Berharap orang-orang yang lewat sudi membeli dagangannya. Terkadang kue-kue dagangannya laris manis dan ludes terjual persis ketika matahari baru keluar dari peraduannya. Namun, tidak jarang juga kue-kue dagangannya masih tersisa. Kalau sudah begitu untuk mengurangi resiko kerugian yang lebih banyak, dijualnya kue-kue yang belum laku tersebut di pasar atau di tempat-tempat orang ramai berkumpul. Bentuk kerja kerasnya tanpa mengenal waktu, setiap hari minggu pagi ia terlihat pula berjualan di depan gereja. Kali ini target penjualannya adalah orang-orang yang baru selesai beribadat. Semua proses ini dikerjakan sendiri dengan sangat tekun dan tak pernah sekalipun terbersit keluhan dari mulutnya, meskipun kalau diamati rona wajahnya dengan seksama, nampak sangat jelas terpancar kalau ia begitu sangat lelah.
***
Ibu ini tak pernah malu berjualan di pinggir jalan ataupun di depan gereja. Semangatnya tak pernah surut menantang matahari yang menyengat, deru debu jalanan dan hujan yang deras. Apa yang dilakukan selama tidak merugikan orang lain, maka ia akan setia melakukannya dan yang terpenting baginya pekerjaan sebagai penjual kue merupakan pekerjaan yang halal. Lebih baik dari sekedar meminta dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Sebuah prinsip hidup yang patut diwariskan kepada anak-anaknya.
***
Semula apa yang dilakukannya ini semata-mata ingin membantu meringankan beban keluarga, namun setelah sang suami tidak lagi memiliki penghasilan tetap, niat awal berubah menjadi lebih berat karena harus menjadi tulang punggung dalam menafkahi hidup keluarga termasuk mengejar mimpinya melihat anak-anaknya sukses di kemudian hari.
Memang usianya tidak lagi muda namun melihat raut wajah dan kondisi fisiknya saat ini sepertinya usianya jauh lebih tua dibanding usia sesungguhnya kini.
Kesibukan maha beratnya menafikkan waktunya untuk sedikit bersolek. Sudah sangat jarang ia menggunakan make up. Terakhir ia merias wajahnya lebaran idul adha tahun lalu. Itu artinya sudah hampir satu tahun berlalu. Sehari-hari sapuan bedak di wajahnya telah berganti menjadi asap yang keluar dari kompor minyak tanah yang menyala, lipstik telah berganti dengan debu jalanan, lotionnya adalah terik matahari langsung. Badannya semakin kurus pertanda kalau makan dan gizi baginya adalah urusan berikut. Tubuhnya mulai ringkih memberi kesan kalau ia harus banyak istirahat. Semua ini sengaja ia lakukan demi membahagiakan keluarga termasuk menyekolahkan keenam anak-anaknya sampai ke jenjang setinggi mungkin.
***
Dengan untaian doa yang tak pernah putus kepada Sang Pemberi Rezeki, perlahan-lahan jerih payahnya membuahkan hasil. Satu persatu anaknya dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi hingga selesai. Bahkan tiga dari lima anaknya yang diwisuda telah memperoleh pekerjaan yang dapat dikatakan cukup mapan. Sedangkan dua anak lainnya telah pula memiliki pekerjaan meskipun tidak tetap, setidaknya penghasilan yang diperoleh keduanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak lagi membebani orang tua.
Anaknya yang bungsu, baru menyelesaikan sekolah tingkat atas dan sebentar lagi akan masuk kuliah. Tapi itu bukan alasan yang patut sampai dia masih harus banting tulang dalam bekerja. Anak-anaknya yang telah bekerja sebenarnya sanggup membiayai adiknya meneruskan sekolah hingga ke bangku kuliah namun ibu itu beralasan bahwa ia tidak ingin perlakuan kepada anak-anaknya berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk dalam hal membiayai uang kuliah. Baginya silahkan anak-anaknya saling mendukung satu sama lain dalam mencapai kesuksesan. Yang terpenting baginya ia masih memiliki kesempatan untuk memberikan kebahagiaan yang adil kepada seluruh anaknya.
***
Tanggung jawab seorang ibu kepada anaknya sungguh luar biasa sehingga mustahil seorang anak dapat membalas jasa ibunya sampai kapanpun. Ibu adalah sosok yang tak pernah menunjukkan rasa sedihnya ketika menderita. Ia tetap menebar senyum dan semangat dikala menghadapi masalah dalam hidup dan justru menangis ketika dirinya dirundung bahagia, terutama bahagia saat melihat anaknya sukses dan berhasil.
Menjadi seorang anak memiliki kewajiban untuk menghormati ibunya. Kedudukannya lebih tinggi bahkan tiga kali sebelum bapak.
Untuk itu, apapun profesi ibu tetaplah bangga menjadi anaknya sekaligus berbuat sesuatu yang berkesan yang membuatnya bangga menjadi seorang ibu. Sebaliknya janganlah melukai hatinya dengan prilaku durhaka kepadanya. Sebab sakit yang dirasakan saat ia melahirkan kita belumlah seberapa dengan goresan luka akibat prilaku dosa dan durhaka kepadanya. Kawan, teruslah berdoa kepada Tuhan semoga DIA senantiasa menyayangi dan mengasihi orang tua (ibu) kita sebagaimana mereka menyayangi dan mengasihi kita sewaktu kecil. Amin...

Menjelang tidur, 28 Mei 2016

Monday, May 23, 2016

Membangun dari Pinggiran

Membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa merupakan satu dari sembilan program andalan pemerintahan Jokowi-JK yang lazim dikenal dengan Program Nawacita. Program pembangunan dari pinggiran sendiri termaktub dalam program Nawacita yang ketiga. Sangat logis alasan yang melatarbelakangi. Pemerintahan Jokowi-JK menilai wilayah pinggir atau desa masih mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan padahal secara teoretis desa merupakan ujung tombak pembangunan karena sebagian besar masyarakat bermukim di desa. Untuk merealisasikan program tersebut digelontorkanlah anggaran untuk membangun desa dengan jumlah yang tidak sedikit. Langkah strategis ini sekaligus menghapus keraguan selama ini bahwa pembangunan di desa kerap tidak berjalan efektif karena selalu diperhadapkan pada masalah klasik yakni kurang atau tidak adanya anggaran pembangunan desa.
***
Saya yakin, pada saat Jokowi-Jk menyusun program ini sesaat setelah memutuskan untuk maju menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden, keduanya belum pernah melakukan blusukan langsung untuk melihat dari dekat kondisi desa-desa di Kawasan Indonesia Timur termasuk didalamnya Kabupaten Manggarai Barat. Meskipun demikian, berbekal informasi yang kompleks dan paripurna keduanya memahami secara jelas dan begitu yakin menarik seutas benang merah bahwa pembangunan desa dengan segala kompleksitas masalahnya wajib menjadi prioritas utama pemerintahannya.

Jauh sebelum itu, Gubernur NTT juga memiliki program unggulan Anggaran Untuk Rakyat Menuju Rakyat Sejahtera disingkat Anggur Merah. Program ini berupa pemberian dana bergulir yang diberikan kepada desa melalui kelompok-kelompok masyarakat produktif. Besaran angkanya cukup signifikan yakni sebesar 250 juta perdesa. Langkah inovatif ini memiliki tujuan mulia yaitu memberdayakan potensi usaha produktif masyarakat agar dapat tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Setali tiga uang, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah pula mengalokasikan anggaran yang lebih kepada desa melalui program Alokasi Dana Desa. Program ini sengaja merubah haluan pembangunan dari kota ke desa menjadi pembangunan dari desa. Harapannya mayoritas dana tersebut diprioritaskan bagi pemberdayaan rakyat, usaha ekonomi desa, pasar, penguatan modal bagi UKM dan koperasi, pembangunan jalan/jembatan, dan penguatan BUMDES.

Dengan komitmen tinggi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi terhadap arah pembangunan yang dimulai dari pinggir atau desa, seharusnya membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat ikut latah bahkan memiliki inovasi yang tinggi dalam membangunan desa dan memberdayakan masyarakatnya. 

Konsep pembangunan yang dimulai dari wilayah pinggir sengaja dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya terfokus di kota dan di pusat pemerintahan. Banyak contoh yang dapat menjadi referensi sebab berangkat dari sebuah pengalaman gagal bahwa pembangunan yang tersentralistik tidak memberi efek yang signifikan pada pembangunan dan pertumbuhan wilayah sekitar. Wilayah sekitar sengaja dibiarkan menjadi penonton pasif kemajuan pusat kota.  Sebaliknya, pembangunan yang dimulai dari daerah pinggir diyakini mampu mengurangi disparitas wilayah bahkan mempercepat pemerataan pembangunan. Selain itu, diharapkan melahirkan wilayah-wilayah pertumbuhan baru yang menstimulus pertumbuhan daerah secara keseluruhan. 

Saya sedikit pesimis konsep pembangunan semacam ini akan berjalan mulus di daerah ini. Sebab secara kasat mata saya tak menemukan implementasinya di lapangan. Alih-alih merasakan keberhasilannya. Pembangunan di daerah ini sepertinya kehilangan orientasi. Menapak pada kondisi ambiguitas. Bingung memulai dari mana, dari pinggiran/desa atau dari pusat kota. 
Pembangunan daerah pinggiran dan desa tidak menunjukkan hasil yang proporsional. Kita masih melihat wilayah desa yang belum sekalipun tersentuh aliran listrik dan air minum bersih. Masih ditemukan akses jalan menuju desa yang kondisinya memprihatinkan. Jembatan penghubung dua wilayah desa yang luput dari pantauan. Fasilitas kesehatan dan pendidikan di desa yang masih jauh dari standar.
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di ibu kota kabupaten bahkan kondisinya masih lebih miris. Hal ini sangat ironi dengan status kabupaten yang mengandalkan pariwisata sebagai leading sectornya. Saya tak perlu repot-repot untuk menunjukkan bukti argumentasi saya karena ketika anda menjejakkan kaki di Labuan Bajo ibukota Kabupaten Manggarai Barat sudah nampak telanjang di mata kita kondisi kota yang sepertinya kurang terurus. Kondisi jalan-jalan dalam kota yang banyak berlubang, hujan sedikit menimbulkan genangan yang nyaris menyerupai kubangan yang tentu berbahaya bagi pengendara. Trotoar yang tidak lagi berbentuk utuh. Sistem drainase yang tidak berjalan normal. Banyak saluran air yang buntu bahkan ada jalan yang kedua sisinya sama sekali belum dibangun drainase sehingga ketika hujan turun, air hujan dengan enteng memenuhi badan jalan. 

Meskipun air minum bersih merupakan kebutuhan vital masyarakat, namun kita masih kerap menjumpai masyarakat merasakan krisis air minum bersih. Ketika musim hujan banyak pipa yang mengalami kerusakan, bocor ataupun patah. Pada titik ini mungkin kita masih bisa memakluminya, namun karena lambannya petugas memperbaiki pipa yang bermasalah tersebut memaksa masyarakat memilih alternatif lain seperti mengkonsumsi air sumur atau bahkan membeli air kemasan saja. Kalau di musim penghujan saja masyarakat mengalami krisis air, bagaimana dengan saat berada dalam musim kemarau, yang memang debit air telah berkurang signifikan. Dipastikan banyak masyarakat yang terpaksa merogok kocek lebih banyak hanya untuk membeli air sumur yang diisi dalam tangki penampung khusus dan dijajakan keliling menggunakan mobil bak terbuka. 

Pembangunan di bidang kesehatan juga belum menunjukkan hasil yang signifikan, setidaknya dapat dilihat dari belum beroperasinya rumah sakit umum daerah, padahal peletakan batu pertama pembangunan RSUD telah berlangsung lebih dari lima tahun. Rentang waktu yang sangat lama mengingat rumah sakit swasta yang baru saja dibangun tahun lalu, sudah beroperasi secara resmi. Keberadaan RS swasta ini banyak membantu dalam penanganan medis yang lebih intensif termasuk penanganan rujukan. Meski biayanya cukup mahal namun setidaknya ada alternatif lain yang lebih dekat dibanding harus ke daerah lain seperti Ruteng, Bima, Denpasar dan Makassar.


Pembangunan dengan segala teorinya, akan efektif manakala metode pendekatan yang digunakan mempertimbangkan karakteristik daerah. Untuk itu, tidak semua teori pembangunan yang ada dapat berlaku aplikatif di setiap daerah. Pada titik ini, setiap pengambil kebijakan di daerah hendaknya dapat merumuskan kebijakan pembangunan daerah yang betul-betul berangkat dari sebuah rasa empati yang tinggi pada nasib masyarakat. Akhirnya, apapun metode pembangunan yang telah dipilih, akan berakhir sia-sia manakala tidak dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Dan ini menjadi pekerjaan rumah besar pengambil kebijakan tertinggi di daerah ini. Ahh...


Labuan Bajo, 24 Mei 2016



Sang Penafsir Mimpi



Namanya Mace, aku mengenalnya belumlah terlalu lama, baru berjalan sekitar 11 tahun. Namun karena selama itu pula aku masih sekantor dengannya, maka tidak bisa dibilang tidak aku mengenalnya lebih dekat. Mengenalnya menciptakan cerita sendiri bagiku. Beragam tema pembicaraan yang dia hasilkan. Tidak hanya sekedar tentang pekerjaannya sebagai pejabat dengan nama jabatan sepanjang jembatan tetapi juga terkait kisah klasik sebagai seorang laki-laki. Yah, apalagi kalau bukan tentang cerita makhluk lembut keturunan hawa. Ia begitu antusias ketika membedah topik ini. Sepertinya ia mempunyai cadangan cerita yang tak pernah habis-habis. Selalu ada, aktual dan akurat. Maklum, untuk ihwal ini pengalamannya cukup berlimpah.
Karena saban hari ia terus bercerita tentang wanita, maka raut wajahnya selalu berseri-seri. Senyum keteduhan selalu tersungging di bibirnya. Hatinya laksana dipenuhi bunga-bunga yang merekah. Lebih puitis dan romantis. Efek selanjutnya ruangan kerja kami menjadi segar dan merona. 

Suatu hari, ia tidak masuk kantor. Suasana begitu berbeda. Perasaan terman-teman refleks terpaut satu dengan lainnya merasakan ada sesuatu yang kurang bahkan hilang. Kami sepakat merindukan mulutnya kembali bercerita tentang keindahan, kelembutan dan pesona seorang wanita. Membayangkan bagaimana ia sangat bergelora menceritakan pengalaman terkininya tentang wanita. Aduhai, sungguh menarik dan menghipnotis.
Namun, belakangan perilakunya berubah seratus delapan puluh derajat. Kuyakini ini ada kaitannya dengan Pilkada. Ia berubah drastis menjelang gaung pilkada ditabuh. Ia tidak lagi tertarik berbicara mengenai wanita. Baginya topik Pilkada lebih seksi dari tubuh wanita. Ia lebih sensitif membicarakan peluang menang-kalah calon kepala daerah. Analisisnya mengalahkan analisa seorang pengamat politik. Segala aspek calon kepala daerah diramu sedemikian rupa menjadi sebuah informasi berharga. Saking antusiasnya dengan dinamika politik lokal, tidak tanggung-tanggung ia menceburkan diri dalam tim pemenangan salah satu paket kepala daerah. Ia bergerak aktif menggalang dukungan bahkan terkesan terlalu vulgar dalam mengomentari calon kepala daerah yang bukan jagoannya. Ia tampil terang-terangan mengkampanyekan visi-misi kandidat calonnya. Berargumen lantang untuk mematahkan pendapat lawan. Ia tidak pernah takut dengan resiko yang dihadapinya kelak. Menurutnya, ia telah menghitung matang untung-ruginya.
Perubahan sikap di atas, dengan segala konsekuensi yang ada telah diterimanya sebagai sebuah pilihan politik yang pasti. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang harus dimaklumi oleh setiap orang.
Namun ada yang lebih menarik dari sederet perubahan perilaku kawanku satu ini. Mendadak ia telah menjadi seorang ahli tafsir mimpi. Bukan mimpi orang lain tapi mimpinya sendiri. Mimpi yang terangkai dari tidur singkatnya setiap malam dan merupakan buah dari hayalan panjangnya sebelum kedua kelopak matanya terkatup rapat saat malam hari. Pada umumnya, selain mimpi buruk orang-orang cenderung melupakan mimpinya saat bangun tidur dan baru teringat kembali manakala ada momen lain yang sebentuk dengan mimpinya beberapa waktu kemudian. Lain orang, lain pula kemampuannya. Baginya ia dapat mengingat secara runtut rangkaian mimpinya tadi malam. Sudah begitu, ia dengan segala teori yang ada mencoba menafsirkan isi mimpinya dengan tingkat keyakinan di atas rata-rata. Apabila dicermati lebih sungguh-sungguh, tafsir mimpinya masih seputar gelaran Pilkada. Entah menggunakan variabel apa, sedikit-sedikit tafsir mimpinya selalu memiliki relasi dengan dinamika politik lokal, isu estafet kepemimpinan daerah ke depan serta bagaimana gaya kepemimpinan bupati dan wakil bupati sekarang. Ia sangat pandai meramu semuanya menjadi sebuah diskursus menarik. Keakuratan analisis mimpinya hanya dapat dibuktikan oleh waktu yang bergulir. Probabilitas kebenaran dan kekeliruannya berimbang dan tidak ada yang mendominasi. Sehingga kesimpulannya bergantung pada keyakinan lawan bicaranya.

Berbicara mengenai kebenaran dan keakuratan mimpinya, aku mencoba menginterprestasikan melalui nalarku sendiri.

Mula-mula aku mempertanyakan mengapa objek analisisnya hanya berkutat pada mimpinya sendiri? Bukankah seluruh ahli nujum memiliki kemampuan yang tinggi dalam menafsirkan mimpi orang lain? Memberikan beberapa proyeksi yang mungkin terjadi sekaligus tidak terjadi pada kliennya. Bagaimana cara menggapai hal-hal yang bersifat positif sekaligus trik dan tips cara menghidar dari hal-hal yang bersifat negatif. Meskipun seluruhnya nyaris bergerak pada situasi menakar kemungkinan. Ahli nujum tetap tidak berani mengambil resiko dalam menafsir mimpinya sendiri. Barangkali kawanku satu ini, memiliki keahlian khusus yang bertolak belakang dengan etik seorang penafsir mimpi pada umumnya. Ia hanya berani menafsir mimpinya sendiri dan rabun dalam menafsir mimpi orang lain.
Kemudian aku juga mempetanyakan mengapa analisas mimpinya selalu bertautan dengan politik dan kekuasaan? Bukankan masih ada atmosfer lain dalam kehidupan ini? Katakanlah berkaitan dengan jodoh, rezeki, panjang umur, kesehatan dan lain-lain. Untuk urusan ini ia sengaja memendam rahasianya dalam-dalam.
Analisis mimpinya satu persatu meleset, ia mafhum. Meskipun ada juga yang hampir benar. Ingat, bukan benar-benar benar. Melihat analisa mimpinya yang nyaris benar tersebut, ia besar kepala, hidungnya mengembang dan tentu dipastikan ia akan semakin “gila” menganalisis mimpinya. Mimpi yang barusan terbeli.

Meja kantor, Labuan Bajo, 16 Mei 2016

Thursday, May 19, 2016

Memaknai usia yang berlalu

Kehidupan masa depan adalah hal ghaib yang menjadi misteri Ilahi sehingga wajar bila manusia tak memiliki kuasa untuk meramalkan secara persis apa yang bakal terjadi kelak. Tuhan selalu memberikan yang terbaik kepada ummatnya meskipun manusia seringkali lupa bersyukur atas setiap karunia-Nya.
***
Aku merasa detik waktu terus berlari hingga setahun berlalu begitu cepat. Hari ini, tak terasa umurku bertambah satu, menjadi 35 tahun. Durasi waktu yang semestinya membuatku menjadi lebih baik. Hari ini Tuhan masih memberikan kemurahan bagiku untuk dapat memperbaiki akhlakku di masa depan. Aku yakin Tuhan masih memberikan hadiah untuk menikmati indahnya ciptaan-Nya agar aku dapat mengevaluasi diri kembali. Tuhan masih memberikan kesempatan untukku bertobat dan memohon ampunan atas segala salah, khilaf dan dosa yang telah kuperbuat.
***
Merefleksi jejak langkah yang kutoreh setahun terakhir menempatkanku pada sebuah titik permenungan. Apakah aku termasuk bagian dari manusia yang beruntung atau justru sebaliknya menjadikanku manusia yang merugi. Beruntung apabila keadaanku saat ini lebih baik dari tahun sebelumnya dan merugi apabila tahun lalu lebih baik dari tahun ini. Keadaan yang baik bukan dalam konteks materi dan keduniawian namun lebih kepada aspek ibadah dan pendekatan diri kepada Sang Pencipta. Seberapa besar hidup ini bermanfaat bagi orang lain dan bagi masa depan itu sendiri. Tidak hanya berhenti pada aspek kemanfaatan namun juga berharap sungguh pada keridhaan Azza wa Jalla.
Apabila sekiranya waktu yang telah lewat memahat lubang hitam besar pada catatan Malaikat Atid, aku ingin Tuhan tak pernah bosan menerima taubatku. Aku berharap di umurku yang kian bertambah ini, mampu menjadi goresan sejarah perjalanan hidupku. Bahwa saat ini bukan lagi waktunya yang tepat untuk melakukan introspeksi diri melainkan melakukan investigasi diri. Kemanakah arah akhir jarum timbangan menunjuk?Memberatkan amal kebajikan atau justru tersungkur pada dosa-dosa. Padahal aku tahu, umurku boleh bertambah namun usiaku sesungguhnya justru berkurang. Kakiku terus melangkah semakin dekat menuju keabadian. Di sisa usiaku aku terus bermunajat kepada-Nya semoga selalu diberkahi usia untuk hijrah menjadi pribadi yang berakhlak mulia, bermanfaat bagi kekuarga dan sesama serta lebih gigih dalam memperjuangkan berkibarnya panji agama.
Syukur Alhamdulillah atas karunia-Mu, Tuhan...
Labuan Bajo, 19 Mei 2016

Saturday, May 7, 2016

Pantai Pede riwayatmu kini

Semilir angin berhembus. Bergerak manja dari arah barat, membasuh permukaan air laut lalu terbang mengelus wajah. Sebentar saja membelai rambut ia lalu menghilang menyelinap di sela2 daun bidara yang pohonnya tumbuh pongah di pantai sebab seingatku dulu, ya dulu sekali, di Pantai Pede ini juga banyak di tumbuhi pohon kelapa dengan rimbunan buah yang menjuntai. Namun kini pohon kelapa tak lagi terlihat sama sekali. Yang tersisa hanya pohon bidara saja.
Air laut cukup tenang hingga riaknya tak berdebur. Ikan -ikan kecil leluasa bermain di bibir pantai. Tengah asyik berkejaran satu dengan yang lain. Beberapa perahu kecil nelayan nampak tengah tertambat. Istirahat sejenak mengikuti tuannya yang butuh waktu memulihkan tenaga setelah sekian hari terus melaut. Begitulah pemandangan indah pagi ini di pantai Pede yang sayang untuk dilepaskan.
***
Pesona Pantai Pede tak pernah lekang oleh waktu. Berjuta cerita lahir dari rahimnya. Tempat yang tepat untuk mencari inspirasi sekaligus solusi. Ia ibarat ibu kandung yang setia mendengar keluh kesah. Mendengarkan seksama setiap problema, merahasiakan galau yang tercurah,  namum tidak lupa melahirkan jalan keluar yang bijak.
Ia juga berperan sebagai rumah tempat kita pulang. Tempat yang cocok untuk melepas kepenatan, merileksasi seluruh bagian tubuh dari rutinitas.
Pantai Pede dengan setia menyambut siapa saja yang datang. Ia siap mengharmonisasikan kembali perasaan yang labil. Bersedia menetralkan kembali jiwa yang goyah.
***
Pantai Pede sangat akrab dengan masyarakat Manggarai Barat. Betapa tidak, pasca Labuan Bajo dikenal luas oleh masyarakat dunia, semua pantai yang biasa menjadi ruang publik kini tak dapat lagi diakses bebas masyarakat. Semua pantai kini telah berganti tuan. Kepemilikan tanah pesisir dan pantai menjadi milik pengusaha besar atau kerap disebut investor, dari luar daerah maupun luar negeri. Praktis Pantai Pede menjadi pilihan satu-satunya sebagai ruang publik, disamping letaknya yang tidak jauh dari pusat kota namun juga mudah dijangkau bahkan dengan hanya berjalan kaki. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengunjung tak perlu dipungut biaya untuk memasuki area pantai ini.
Karena menjadi area publik satu-satunya, maka saban hari orang-orang tak jemu mendatanginya. Pagi, siang bahkan malam hari. Hari kerja lebih-lebih hari libur. Sendiri, dengan pasangan, bersama keluarga bahkan teman-teman dekat.
***
Aku sendiri memiliki jadwal tetap untuk berkunjung ke Pantai Pede setiap akhir pekannya. Mengajak keluarga kecilku untuk menikmati liburan akhir pekan dengan sederhana. Saking sederhananya, terkadang kami memanfaatkan momentum liburan akhir pekan di Pantai Pede dengan hanya menggelar sarapan pagi dengan menu nasi kuning bungkus yang sengaja dibeli terlebih dahulu di warung sebelum kami ke pantai. Menu boleh biasa tapi apabila disantap sambil memandang bentang laut yang indah serta dimanjakan dengan alunan debur ombak dan diiringi angin sepoi-sepoi yang langsung merasuk ke pori-pori tentu menjadi sebuah untaian pengalaman yang sungguh sanga luar biasa.
Bila niat kita ke Pantai Pede semata-mata untuk rekreasi, maka belum sempurnalah rekreasi kita bila tidak ikut mandi dan menceburkan diri di lautnya. Berenang, menyelam ataupun sekedar berendam tentu menjadi sebuah paket wajib yang sangat sayang bila tidak dimanfaatkan. Aku menduga kandungan air lautnya mampu membuat kita betah berlama-lama dalam dekapannya. Pasirnya terbilang putih, lembut dan renyah bila diinjak langsung dengan telapak kaki.
Anak-anakku paling gembira ketika kuajak ke Pantai Pede. Bagi mereka, sensasi kepuasan bermain bebas di pasir melebihi kadar kepuasan saat menerima hadiah mainan baru. Tawa riang mereka ketika berjibaku dengan air laut dan pasir seolah-seolah memberi kesan kalau hidup haruslah selalu dinikmati. Bahwa raga dan jiwa memiliki hak istimewa untuk diperlakukan lebih santai. Tak terus menerus diberondong dengan suguhan problematika.
***
Belakangan, polemik terkait Pantai Pede menyeruak. Hal ini bermula dari rencana Pemerintah Provinsi NTT yang (katanya) sebagai pemilik tunggal dari aset berharga ini, menyetujui ijin pengelolaan Pantai Pede diberikan kepada pihak ketiga untuk membangun hotel berbintang. Rencana ini ditentang keras masyarakat. Mereka khawatir setelah Pantai Pede diprivatisasi, seluruh akses menuju Pantai Pede akan ditutup untuk khalayak. Tidak ada lagi ruang yang representatif bagi masyakat untuk berkumpul dan mengekspresikan kebahagiaannya dengan bertamasya. Tak ada lagi tempat yang strategis untuk mengaktualisasikan diri dalam bentuk atraksi dan pentas seni. Padahal hilang atau terhapusnya spot yang biasa digunakan sebagai media interaksi sosial ini sama saja menafikkan kreativitas dan menyuburkan sindrom depresi.
Anehnya, gelagat ini sepertinya sengaja diacuhkan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat. Bupati sebagai pucuk pimpinan di daerah ini tidak serius memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Bupati cenderung tidak berkutik pada titah gubernur, meskipun hati kecilnya berbisik lain. Bupati memilih berseberangan pendapat dengan masyarakat, LSM pegiat pariwisata dan aktivis lingkungan bahkan dengan pihak gereja (katolik) sekalipun.
Sebenarnya Bupati telah mencoba memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Provinsi dan kelompok masyarakat. Namun seperti sudah diprediksi dari awal bahwa pertemuan ini akan berakhir deadlock. Wajar saja sebab Pemerintah Provinsi tetap keukeuh mengijinkan pihak ketiga untuk membangun hotel berbintang dan itu sama saja mengiris hati masyarakat yang sedari awal berjuang mempertahankan Pantai Pede sebagai ruang publik.
Pemerintah Provinsi beralasan pengelolaan Pantai Pede oleh pihak ketiga untuk membangun hotel berbintang akan memberi keuntungan yang lebih kepada daerah berupa peningkatan pendapatan asli daerah melalui sewa pakai aset tanah.
Sebagai orang awam, aku berpendapat meski menggunakan logika sederhana. Pertama, Bukankah PAD yang dicapai tiap tahun akan dimanfaatkan kembali untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat? Lantas mengapa Pantai Pede yang sudah jelas-jelas memberi kebahagiaan langsung kepada masyarakat mesti dikorbankan lg? Apalah arti PAD yang tinggi sementara rakyat menderita?
Kedua, Pemerintah Provinsi memprivatisasi Pantai Pede melalui pemberian ijin pembagunan hotel berbintang oleh pihak ketiga dengan sistem sewa pakai. Katakanlah Pantai Pede milik Pemprov NTT yang sengaja disewakan. Apakah Pemkab Manggarai Barat tidak berniat sedikitpun untuk menyewa saja Pantai Pede ini untuk selanjutnya dikelola dengan baik layaknya Pantai Kuta di Bali yang bebas dikunjungi masyarakat. Aku yakin besaran sewa pakainya tentu lebih murah karena selain Pemkab Manggarai Barat adalah anak kandung Pemprov NTT, juga yang lebih penting adalah Pantai Pede sengaja disewa bukan dengan tujuan akhir untuk dikomersilkan tetapi semata-mata digunakan untuk kepentingan masyarakat. Pada titik ini aku sangat yakin kalau mayoritas masyarakat menyetujui penggunaan anggaran dari APBD untuk membiayai ikhwal ini.
***
Pantai Pede riwayatmu kini...terus berada dalam ruang yang tak pasti hingga tidak terasa engkau kian terabaikan. Letakmu ada di Kabupaten Manggarai Barat namun secara perlahan masyarakat disini terancam tak lagi dapat menikmati keelokanmu termasuk aku dan keluarga kecilku.
Pantai Pede, 13 Mei 2016

Monday, April 18, 2016

Finger Print, Sesuatu yang Barukah?



Ada satu kultur baru yang diciptakan Ibu Wakil Bupati untuk meningkatkan disiplin pegawai yang bekerja di kantor megah ini, yakni apel pagi dan apel sore. Kultur yang mungkin mengadopsi sistem kerja di Provinsi ketika dia masih aktif bertugas di sana. Tradisi yang sengaja digelar, mungkin berangkat dari sebuah asumsi penilaian buruk bahwa tingkat disiplin pegawai di daerah ini saat ini terbilang rendah. Pegawai dengan santainya masuk terlambat namun pulang mendahului waktu semestinya. 

Ketika saya menulis catatan ini, rekan-rekan sejawat sementara kasak-kusuk bersiap mengikuti apel sore. Apel yang dilaksanakan setiap menjelang pulang kantor. Dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan akhir pegawai sampai pada detik terakhir menjelang pulang kantor. Apakah komposisi pegawai masih lengkap seperti keadaan di waktu pagi hari, bertambah atau malah berkurang. Menjadi menarik ketika dengan sedikit pesimistis kita mencoba merangkai sebuah pertanyaan reflektif, apakah cara seperti ini efektif untuk mengembalikan semangat kerja pegawai?
Karena sebuah pertanyaan reflektif maka jawabanpun tak perlu meneggunakan rumus baku. Cukup sederhana dan sepertinya mudah ditangkap logika biasa.
Begini, waktu efektif bekerja selasa-jumat seharusnya dimulai dari pukul 07.30 sampai 16.00 sedangkan khusus haris senin selalu dimulai pada pukul 07.00 wita sampai pukul 15.30 wita dengan istirahat siang selama sejam yakni pada pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00. Nah, kalian pasti mau tahu waktu apel pagi dan sore hari, kan? Sabar... saya sudah menjaminkan kata di depan tadi kalau perhitungannya tidak rumit-rumit amat. Waktu apel pagi selain hari senin, dilaksanakan pada pukul 07.45 s/d 08.00 atau tidak jarang selesai melewati jam 8 pagi, sedangkan waktu apel sore dimulai pada pukul 15.45 sampai selesai. Dari sini kalian pasti sudah bisa menebak apa yang saya maksud, kan?
Tanpa kalkulatorpun saya yakin kalian sudah dapat mengetahui bahwa akumulasi durasi waktu apel pagi dan sore menyita waktu kurang lebih setengah jam. Lamanya ini tentu mengurangi waktu efektif kita bekerja dalam sehari, seminggu, sebulan bahkan setahun. Apabila waktu terbuang ini kita gunakan untuk bekerja sungguh-sungguh tentu banyak hal yang dapat kita lakukan. Tidak usah berfikir jauh tentang berapa banyak masyarakat yang telah kita layani? tentang berapa banyak dokumen yang diterbitkan? tentang berapa kali rapat yang memutuskan kebijakan daerah yang telah digelar? Tidak usah berfikir sampai kesana, cukup kalian bertanya berapa banyak kertas bekas yang dapat dilipat untuk membuat sebuah amplop surat? Dan anggap saja seluruh pegawai dari Bupati sampai petugas cleaning service bekerja telaten melipat kertas bekas tersebut menjadi sebuah amplop layak pakai. Kali ini saya mempersilahkan kalian menggunakan mesin hitung untuk mengetahui persis berapa amplop yang tercipta sebab saya sendiri tidak mampu menghitungnya. 

Mengingat jaman sudah modern, kemajuan teknologi telah menyentuh seluruh aktivitas manusia, maka penggunaan teknologi tentu menjadi sebuah keniscayaan. Termasuk untuk mempermudah sebuah organisasi dalam mengontrol kehadiran anggotanya. Alat yang relatif sederhana yang mampu menggantikan presensi atau daftar hadir manual. Namanya finger print. Bentuknya bervariasi, ukurannya ada yang hanya sebesar kotak sabun. Harganya relatif terjangkau. Bagi daerah tidak perlu harus beradu argumen untuk mennyetujui penganggarannya. Cara kerja alat ini cukup simpel hanya dengan menempelkan jari-jari dengan sidik tertentu, maka kehadiran seseorang sudah dapat terdeteksi. Efisien sekaligus efektif. Efisien berarti pegawai tidak perlu repot-repot apel pagi dan sore. Efektif berarti pegawai bertanggung jawab terhadap kehadirannya masing-masing. Tidak lagi ada istilah titip absen atau dispensasi pada yang terlambat atau tidak hadir sekalipun. Saya kira praktek seperti ini berhasil sukses diberlakukan pada perusahaan-perusahaan milik negara maupun swasta. Tidak pernah kita menyaksikan pegawai pada perusahaan tersebut berbaris antri, berbanjar dan bersaf secara teratur, gerak jalan dan hormat-menghormati. Pikiran dan perilaku mereka sudah tersistem rapi, datang cepat, bekerja tekun dan tuntas kemudian pulang dengan tidak mewariskan pekerjaan untuk esok hari. 

Finger print bukan lagi sebuah pilihan tetapi telah menjadi sebuah keharusan. Perlu segera disediakan untuk mendongkrak naik disiplin pegawai. Catatan kritis yang perlu menjadi perhatian bagi pemangku kepentingan atau pembina kepegawaian tertinggi di daerah ini agar jangan sampai terulang budaya kerja pegawai dimana setelah mengisi presensi atau absensi atau finger print, pegawai langsung ngacir dari kantor dengan berbagai macam alasan hingga saatnya waktu pulang menjelang, pegawai tersebut kembali ke kantor untuk mengisi daftar hadir atau memindai sidik jarinya pada finger print tersebut. Tak ada karya, tak ada uotput, yang ada hanya tuntutan menerima hak berupa gaji dan honor. Kalau praktek semacam ini masih terjadi, sesungguhnya akar masalah bukan terletak pada apel pagi, apel sore, daftar hadir manual atau finger print tetapi justru pada ketegasan seorang pemimpin untuk mengontrol bawahan. Bahwa reward dan punishment benar-benar objektif.Itu saja.

Labuan Bajo, 14 April 2016

Wanita Pecinta Bunga



Ada yang berbeda ketika memasuki Kantor Bupati. Kesan feminim lebih terasa saat ini. Hampir setiap sudut ruangan sengaja ditata pot dengan beragam koleksi bunga. Wangi semerbak menyeruak memenuhi antero ruangan. Berhembus segar sepanjang hari. Menetralisir segala aroma yang diproduksi tubuh setiap manusia yang memasuki gedung mewah itu. Selain memberi kesan keindahan,  keberadaan bunga juga difungsikan untuk menangkal aura negatif yang datang dari berbagai penjuru.
Seni interior Kantor Bupati sengaja didesaign sedemikian rupa oleh Ibu Wakil Bupati. Wajar saja, dia adalah seorang wanita yang secara manusiawi mencintai keindahan dan kebersihan. Apalagi dia adalah seorang dokter yang notabene hatam betul dengan segala jenis kuman, bakteri dan virus penyebab penyakit. Matanya terbiasa dengan sajian estetika. Sangat cermat mengkritik sesuatu yang tidak pada tempatnya. Semuanya harus tertata rapi, asri dan memanjakan pandangan. Setiap ruangan diinspeksi untuk melihat penataan dan kebersihannya. Seluruh pegawai berjibaku dengan sampah, debu, dan jelaga. Tak ada lagi dokumen berserakan atau bertumpuk pada satu titik, tak ditemukan lagi barang rongsok di sudut ruangan, Tak terlihat lagi jamur yang tumbuh subur pada meja, kursi, lemari dan kaca jendela. Lantai menjadi kinclong hingga nyaris menjadi cermin. Sampai-sampai ibu-ibu yang terbiasa mengenakan rok, harus lebih ekstra hari-hati dalam berjalan karena kondisi lantai yang dapat memantulkan gambar secara jernih dan nyata. Sebagai pelengkap kesempurnaan, dipajanglah beberapa pot beserta bunga cantik nan menarik pada tempat-tempat strategis dengan maksud dan tujuan mulia. Menetralisir aroma dan energi ruangan.

Niat baik Ibu Wakil Bupati patut diapresiasi karena niat itu tidak berakhir dengan perintah lisan saja tetapi berkesempatan terjun langsung bergelut dengan tetek bengek pengaturan dan penataan kantor. Dan tidak jarang dia pun terlihat lelah seraya sesekali menyeka keringat pada wajahnya. 

Ibu Wakil Bupati baru 2 bulan menjabat. Jika melihat dari rentang waktu tersebut, sepertinya ada pesan khusus yang ingin disampaikan melalui karakter memimpinnya. Bahwa dia sangat perfeksionis dan profesional dalam bekerja. Selalu memastikan seluruhnya berjalan dengan baik, termasuk peduli terhadap hal remeh temeh mengurus bunga. Masyarakat terus menanti kinerja Ibu Wakil Bupati selanjutnya untuk berperan lebih aktif dan spektakuler untuk menyelesaikan urusan yang maha besar seklaigus sungguh-sungguh berorientasi pada kepentingan masyarakat. Tidak stagnan pada urusan merangkai dan menghias bunga.

Labuan Bajo, 13 April 2016