Thursday, March 30, 2017

Susahnya Mencari Pengasuh Anak Infal

Foto Rahmiati Bunda Nilam.
Model: Anak-anak Saya


Saya tidak pernah melarang isteri saya bekerja kantoran. Saya juga tidak pernah memaksanya untuk membantu saya mencari nafkah. Saya bersyukur penghasilan saya sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga kecil saya. Bersama isteri dan 4 orang anak yang terbilang masih kecil. Si sulung berusia 10 tahun, anak kedua berusia 7 tahun, yang ketiga masih berusia 4 tahun dan yang bungsu baru memasuki usia 7 bulan. Belakangan isteri saya ingin bekerja. Gayung bersambut, ia kemudian diterima bekerja di instansi pemerintahan. Bak buah simalakama, sebuah pilihan yang harus kami putuskan segera. Saat saya dan isteri berangkat ke kantor untuk bekerja lantas siapa yang menjaga dan mengasuh anak kami di rumah? Keputusan singkat dipilih. Mencari pengasuh anak infal.

Foto Rahmiati Bunda Nilam.
Model: Nauzan

Sampai anak bungsu kami Nauzan menginjak usia 6 bulan, seluruh tanggung jawab pengasuhan kami laksanakan berdua. Mulanya kami mau Nauzan diperlakukan sama dengan saudara-saudarinya yang lain. Dibesarkan dalam buaian tangan hangat ibunya. Menjadi saksi perkembangan mereka dari detik ke detik serta tidak mau kehilangan momen-momen berharga bersama mereka di rumah. Namun pasca isteri saya diterima bekerja, mau tidak mau saya harus memikirkan seseorang yang akan menjadi pengasuh Nauzan sekaligus menemani Rais selama saya dan isteri tidak berada di rumah. Sedangkan Lunar dan Nilam setiap pagi berangkat ke sekolah dan baru ada dirumah selepas pulang sekolah. Lunar, Nilam dan Rais tidak perlu memperoleh penjagaan khusus mengingat masing-masing dari mereka relatif sudah bisa mengurus diri mereka sendiri.
Saya tidak mungkin meminta bantuan kakek dan neneknya untuk menjaga dan mengasuh Nauzan. Disamping keduanya memiliki kesibukan sendiri, saya berpikir sudah saatnya mereka memanfaatkan waktu yang luang untuk banyak beristirahat. Biarlah mereka menikmati hari tuanya tanpa harus direpotkan lagi dengan tetek bengek mengurus anak kecil. Cukup saya saja yang pernah merepotkan mereka saat saya masih kecil dulu. Tak perlu harus diulangi lagi oleh anak-anak saya. Saya merasa belum seberapa membalas jasa-jasa mereka dan saya yakin sampai kapanpun tidak mungkin bisa membalasnya. Membahagiakan orang tua saja saya belum mampu, bagaimana mungkin saya tega memberi mereka beban baru menjaga dan mengasuh anak saya.

Tidak ada pilihan lain selain mencari pengasuh anak infal atau pengasuh sementara yaitu orang yang saya percaya bisa mengurus anak dengan baik sehingga kedepan saya tidak perlu khawatir meninggalkan anak saya bersamanya di rumah. Bisa bekerja dengan tenang tanpa direcoki oleh pikiran was-was keberadaan Nauzan di rumah. untuk urusan gaji saya yakin ia akan setuju. Meskipun demikian saya tetap berhati-hati memilih orang yang pantas untuk menjadi pengasuh anak infal. 

Khusus di wilayah Labuan Bajo, mencari pengasuh anak infal tidak semudah mencari asisten rumah tangga. Jika asisten rumah tangga lebih aktif mencari tempat bekerja, sebaliknya pengasuh anak infal justru pengguna jasalah yang lebih proaktif mendekati mereka. Perbedaan lain, tidak semua asisten rumah tangga mampu berperan sebagai pengasuh anak. Asisten rumah tangga lebih identik dengan pekerjaan kasar seperti menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, melipat pakaian, berbelanja ke pasar dan memasak. Sebaliknya, sebagian besar pengasuh anak mampu berperan layaknya asisten rumah tangga. Pengasuh anak bekerja mengedepankan hati yang lembut, lunak, halus dan penuh kasih sayang. 

Syarat utama memilih pengasuh anak yang baik untuk Nauzan, selain mereka memiliki pengalaman mengurus anak juga yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mereka  mampu mengambil hati anak saya. Membuat anak saya merasa nyaman di dekatnya. Bagi pengasuh anak profesional, mengasuh anak majikan sama perlakuannya seperti mengasuh anak sendiri. Pola pengasuhan yang tidak pernah membedakan anak biologis sendiri atau bukan. 


Didesak waktu yang semakin mepet karena isteri saya harus segera masuk kantor. Saya dan isteri bergerilya mencari informasi orang-orang yang berkenan menjaga dan mengasuh Nauzan di rumah. Saya bisa saja menitip Nauzan sementara di rumah bibinya. Namun karena jarak rumah yang cukup jauh, saya merasa kasihan melihat anak belia seumuran Nauzan diantar-jemput tiap hari. 


Foto Rahmiati Bunda Nilam.
Model: Nauzan

 Target kami pertama adalah seorang ibu muda yang pernah menjadi asisten rumah tangga di kediaman sahabat saya. Ia terpaksa berhenti bekerja disana karena kelelahan mengurus anak majikan sekaligus kerepotan mengurus rumah yang berukuran lumayan besar. Saat saya dan isteri menyambangi rumahnya di Kampung Tengah, ia sedang menonton TV. Isteri saya menyampaikan maksudnya dengan singkat. Ia menghargai tawaran kami namun tidak bisa menerimanya. Menurutnya, saat ini ia butuh banyak istirahat setelah beberapa waktu lalu mengalami keguguran. Kami mafhum dengan alasannya sembari turut prihatin dengan nasibnya. 

Saya dan isteri kembali bergerak menemui seorang ibu di Kampung Air. Ia tinggal di sebuah rumah kost bersama sang suami. Hingga usia pernikahan menginjak lima tahun mereka belum juga dikarunia keturunan. Saat isteri saya meminta kesediaannya menjaga dan mengasuh Nauzan di rumah, isteri saya sempat melontarkan kalimat menggoda.
"Semoga dengan mengurus Nauzan, Tuhan segera menganugerahkan keturunan kepada ibu dan suami ". Ia tersenyum tipis lantas berbicara pelan. Dari mimik wajahnya ia nampak ragu memberi alasan. 
"Kalau sekadar menjaga Nauzan di sini saya bersedia tapi kalau saya harus ke rumah ibu pagi-pagi mungkin saya tidak bisa. Saya harus menyiapkan makanan suami saya sebelum ia pulang dari pasar. Saat suami saya pulang dan mau makan siang, seluruhnya telah tersedia di meja makan". Sebuah jawaban kompleks yang tak perlu dibantah. Isteri saya mohon pamit. Di luar hujan baru saja berhenti.

Saya dan isteri melanjutkan pencarian berikutnya ke wilayah Sernaru. Sepelemparan batu dari rumah kami. Berniat menemui seorang ibu yang dulu pernah menjadi tetangga kami. Mereka pindah rumah karena pemilik tanah tempat mereka membangun rumah dahulu meminta mereka segera mengosongkan tanahnya. Katanya tanah tersebut akan dibangun kost-kost-an oleh pemiliknya. Namun hingga kini bangunan kost-kost-an belum juga terlihat bentuknya bahkan hanya sekadar pondasi juga belum nampak terpasang. Ibu itu tinggal bersama suaminya yang berprofesi sebagai tukang bangunan dan kedua anaknya yang sudah cukup besar. Ia menyambut hangat kedatangan kami. Tanpa basa-basi isteri saya langsung mengutarakan niatnya. Ia sungguh tertarik mendengarnya. Baru saja saya ingin meluapkan kesenangan, ibu itu kemudian berkata.
"Mohon maaf, andaikan ibu mengatakan ini dari kemarin saya pasti tidak akan berpikir dua kali lagi akan langsung menerimanya. Tapi baru tadi pagi tadi saya mengiyakan untuk bekerja di sebuah usaha laundry milik keluarga saya di Gorontalo". Untuk kesekian kalinya, saya melihat raut wajah isteri saya dinaungi kekecewaan. 

Pencarian seorang pengasuh anak infal untuk sementara kami hentikan dahulu. Saya dan isteri pulang ke rumah untuk mengidentifikasi kembali orang-orang yang layak menjadi pengasuh Nauzan. Berharap besok nama-nama yang kami pikirkan bersedia menjadi pengasuh anak bungsuku. Di luar hujan kembali menyapa dengan intensitas yang lebih tinggi.

Waktu untuk mencari pengasuh Nauzan tinggal sehari. Isteri saya harus segera masuk kantor. Berulang kali isteri saya ditelpon dari kantornya untuk segera melapor diri. Saya melihat isteri saya semakin gusar menghadapi situasi seperti ini. Tiba-tiba saja muncul di pikiran saya untuk menyuruh isteri saya agar mendekati isteri tukang ojek yang biasa mengantar Lunar dan Nilam ke sekolah saat saya berhalangan mengantar mereka. Rumah mereka sepenghisap rokok dari rumah saya. Persisnya tiga rumah di belakang rumah saya. Kelihatan jauh karena harus menyeberangi jembatan kecil dahulu sebelum sampai ke rumahnya. Isteri saya tak membuang kesempatan dengan menunda saran saya. Ia lekas ke rumah tukang ojek itu dengan hati penuh pengharapan.

Istri saya tidak begitu gembira saat ia kembali dari rumah tukang ojek itu. Menurut penuturan istri saya. 
"Istri tukang ojek tersebut tidak bisa mengambil kesimpulan sendiri. Sebagai istri yang baik ia harus membicarakan hal ini dengan suaminya terlebih dahulu". Naluri kebijaksanaan seorang isteri yang patut diacungi dua jempol. Istri saya melanjutkan kalimatnya. 
"Ia akan memberikan jawaban paling lambat besok pagi". 


Matahari baru saja bersinar setelah beberapa hari menghilang. Maklum, akhir-akhir ini hujan terus turun melanda Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Menyisakan genangan air di jalan berlubang. Burung-burung menyambut gembira matahari yang bersinar lembut dengan kicauan yang merdu. Lunar dan Nilam sedang berkutat dengan sarapan pagi. Rais masih tidur nyenyak di kamar. Si bungsu Nauzan telah bangun dan digendong ibunya. Tiba-tiba pintu depan rumah diketuk orang dari luar. Pertanyaan menggelayut, siapa gerangan orang yang tidak ada kerjaan langsung bertamu pagi-pagi ke rumah orang lain. Isteri saya menuju rumah dan langsung membuka pintu. Rupanya Istri tukang ojek itu yang datang. Ia mengucap salam pada seisi rumah. belum sempat istri saya menjawab salamnya ia langsung berujar dengan senyum mengembang. 
"Saya setuju menjadi pengasuh Nauzan. Saya telah mendapat restu dari suami saya". Sebuah jawaban yang ditunggu-tunggu istri saya akhirnya keluar dari mulut istri tukang ojek itu. Istri saya tidak kalah gembiranya. Matanya sempat berbinar seolah beban berat di pundaknya baru saja terangkat semuanya.

Mencari pengasuh anak infal memang tidak mudah. Butuh kesabaran dan kehati-hatian. Keputusan yang diambil harus dipikirkan matang-matang. Jangan sampai membawa petaka bagi anak-anak kita. Sebab tidak sedikit pengasuh anak yang tidak bertanggung jawab. Saya bersyukur menemukan pengasuh Nauzan yang sarat dengan pengalaman mengasuh anak. Selain ia mengasuh anak laiki-lakinya yang berusia lima tahun, ia juga pernah mengasuh anak majikannya di Makassar selama tiga tahun. Berlanjut dua tahun di Kalimantan. Terlihat jelas ia memang sangat profesional. Ia pandai memandikan, memakaikan baju, memberi makanan dan menidurkan anak. Gerakan tangannya tidak kaku, luwes dan lembut. Nauzan nampak nyaman berada di dekatnya. Bonus berikutnya yang kami peroleh, anaknya yang bernama Fresty menjadi teman bermain anak Rais saat kakak-kakaknya masih berada di sekolah.

Foto Rahmiati Bunda Nilam.
Model (dari kiri ke kanan): Lunar, Rais dan Nilam

Kini, saya dan istri dapat berangkat ke kantor dengan nyaman tanpa khawatir dengan keadaan Nauzan di rumah. Selama kami bekerja, rumah tidak harus kosong karena anak-anak tetap ada di rumah. Tentu ditemani pengasuh Nauzan. Mereka masih dapat bermain di rumah sepuasnya tanpa harus ikut ke kantor. Mereka hanya perlu beradaptasi dengan pengasuh Nauzan. 

Kepada anak-anakku, janganlah nakal di rumah. Doakan papa dan mama sehat selalu dalam bekerja.

Sernaru-Labuan Bajo, 27 Maret 2017












Friday, March 24, 2017

Keling dan Perjuangannya Mencari Cinta Sejati





Keling Menunjukkan Buku Nikahnya

Sejak ia sukses melafalkan qabul pada saat menerima ijab dari wali kekasihnya di depan Pak KUA, senyumnya terus mengembang. Setidaknya dua pesan yang ingin ia sampaikan kepada orang-orang yang sengaja hadir menjejali aula Kantor KUA. Pertama, ia lancar berikrar dan tidak menunjukkan perasaan gugup berlebihan pada saat menjawab ijab Pak KUA dan yang kedua, ia ingin menunjukkan bahwa anggapan orang selama ini kepadanya salah. Ia berhasil membalikkan fakta dirinyalah yang saat ini menjadi "raja sehari" bersanding gagah dengan gadis pujaan hatinya. 
 
***

Saya baru tahu kalau nama aslinya Fikri. Selama ini orang-orang sering memanggilnya Keling. Kelihatan memang tidak nyambung antara Fikri dan Kelling. Bahkan ditinjau dari sudut manapun kedua nama tersebut memang tidak saling bertautan. Namun itulah kenyataannya. Saya hanya bisa menduga kalau nama Keling mungkin terinspirasi dari iklan obat herbal merk Keling yang begitu fenomenal dahulu saat ia masih kecil. Obat ini efektif membantu meluruhkan batu oksalat (urine), memperlancar air seni dan menyembuhkan penyakit pinggang. Saya juga yakin orang tuanya pasti enggan memanggilnya Keling kalau saja mereka tahu bahwa Keling juga berarti panggilan kepada orang berpostur badan tinggi besar, berkulit hitam dan sering ditujukan kepada orang Tamil atau Afrika. Istilah keling seyogyanya harus digunakan hati-hati karena sesuatu yang sangat sensitif, bernuansa makian dan ofensif terhadap etnis tertentu. Tapi apapun itu, saat ini saya tidak akan membahas secara khusus asal-usul nama Keling. Saat ini, saya lebih tertarik membahas perjuangan Keling mencari sosok cinta sejati.

***

Ia lahir di akhir tahun 80-an di sebuah kampung nelayan Labuan Bajo. Terlahir normal dari rahim seorang ibu perkasa melalui bantuan tangan dingin langsung seorang nenek yang berprofesi sebagai seorang dukun bersalin. Pertumbuhannya sangat cepat. Terlihat dari postur tubuhnya yang bongsor. Perawakannya lebih tinggi dan lebih besar dibanding teman sebayanya. Di saat anak-anak sepantarannya tengah asik-asiknya bersekolah, ia justru memilih berhenti bersekolah. Saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya sehingga ia nekat putus sekolah. Padahal kelas 1 SD saja ia belum lewati. Kedua orang tua susah payah merayunya untuk tetap bersekolah. Mereka sadar dengan kondisi Keling yang belum mahir mengenal huruf dan angka dikhawatirkan kelak akan membuat masa depannya suram. Bagaimana mungkin seorang yang buta huruf mampu bersaing dengan orang yang bertitel sarjana di tengah era teknologi modern saat ini. Standar rekrutisasi pegawai ataupun karyawan dari tahun ke tahun selalu meningkat. Kemajuan jaman niscaya akan menggilas orang-orang yang tak mampu bersaing karena tidak memiliki keahlian mumpuni. Naluri orang tua sering kali benar dan biarlah waktu yang akan membuktikannya.
Rupanya firasat orang tua Keling tidak meleset. Pekerjaan Keling remaja hingga dewasa hanya berkutat pada kekuatan otot. Menjadi tukang pikul dan bekerja serabutan sebagai buruh kasar. Maklum, fisiknya bongsor dan cukup kekar sehingga barang yang beratpun dengan enteng diangkatnya. Pekerjaan yang bersentuhan dengan baca tulis selalu dihindarinya. Ia tahu diri hanya angka nominal yang tertera di uang kertas dan petunjuk permainan di play station yang dihafalnya. 

Sebagai tukang pikul di Tempat Pelelangan Ikan Labuan Bajo, jasanya kerap dimanfaatkan para pedagang ikan. Akhir-akhir ini Keling agak kesulitan melayani pelanggannya yang kian bertambah setiap hari sebab tukang pikul andalan lainnya beberapa bulan lalu telah meninggal dunia. Praktis Keling menguasai pasar angkat-mengangkat dan pindah-memindah barang di TPI setiap paginya. Meskipun demikian, ia tak pernah mematok tarif jasa pikulnya kepada orang-orang yang menggunakan jasanya. Ia tak pernah menolak ketika orang-orang membayarnya lebih dan sebaliknya ia tidak pernah protes ketika orang memberinya sedikit. Selepas bekerja pagi hari sebagai tukang pikul di TPI ia kemudian melanjutkan kerja serabutan di sekitar tempat tinggalnya. Sekali lagi kerjanya tidak jauh-jauh dari mengangkat dan memindahkan barang. Lumayan, penghasilan Keling cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya sendiri. Ia mampu membeli pakaian baru meskipun tidak dalam suasana hari lebaran. Jika masih surplus hasil jerih payahnya ia tabung sendiri. Bukan di bank konvensional tetapi disimpan di tempat yang sulit ditemukan orang lain di rumahnya. Keling tidak mau menyimpan uangnya di orang lain meskipun itu ibunya. Bukan bermaksud tidak percaya dengan ibunya tetapi ia tidak mau orang lain tahu berapa besar penghasilan yang disisihkannya saban hari dan berapa total keseluruhan tabungannya. Pada titik ini sayapun ikut heran dibuatnya. Meskipun tidak lama mengenyam pendidikan Keling tahu cara mengelola uang dengan baik. Merencanakan pengeluaran dengan hati-hati. Keling menggunakan uangnya secara hemat agar bisa ditabung sisanya. Harapannya tidak muluk-muluk. Jika sudah cukup ia ingin menikah. Merenda masa depan dengan berumah tangga. Sebuah harapan yang wajib diaminkan. 

Apa daya manusia hanya dapat merencanakan tetapi Tuhan yang memiliki kuasa untuk mengabulkan. Keling telah berusaha untuk menjalin asmara dengan beberapa wanita. Jumlah wanita yang didekatinya hampir sama dengan yang menolaknya. Nasib Keling sungguh tragis. Namun tak ada istilah menyerah dalam kamus hidup Keling. Baginya, satu wanita yang menolak masih ada kemungkinan seribu wanita menerimanya. Orang-orang Kampung nelayan apatis dengan manuver Keling. Mereka merasa Keling bagai pungguk merindukan bulan. Keling tidak peduli. Toh, ditolak wanita bukan lagi hal baru baginya. Ia tidak larut dalam kesedihan yang lama. Cepat move on dan memulai jurus baru memikat wanita. Benar saja, Keling berhasil menaklukkan hati satu wanita. Kebetulan atau tidak bukan persoalan yang penting Keling sementara itu bahagia. Yah, hubungan mereka memang sementara saja sehingga kebahagiaan Keling pun hanya seketika. Keling cepat sadar kalau wanita itu tidak mencintainya dengan tulus. Wanita itu hanya mengincar uang Keling. Memperalat Keling untuk menuntaskan syahwat belanjanya. Untuk urusan mentraktir wanita belanja sesuatu, Keling lupa teori berhemat. Ia justru royal dan tanpa perhitungan. Alhasil uang yang susah payah dikumpulkan untuk menikah menguap begitu saja. Keling kembali jomblo untuk waktu yang cukup lama. Tak terhitung purnama ia dibekap sepi. Bukan Keling kalau ia surut dengan keadaan seperti ini.
Keling tetap semangat menatap masa depan. Baginya tak ada yang perlu ditangisi. Benteng ketegarannya masih tetap kokoh.
Melihat peluang untuk mendapatkan kekasih di kampung sendiri semakin tipis, Keling mengembara ke luar kota. Mula-mula ia berangkat ke Bima terus ke Lombok. Tidak berhasil disana ia merubah arah kembara. Kali ini tidak tangung-tanggung ia langsung ke Selayar Sulawesi Selatan. Setali tiga uang, nasibnya belum mengalami perubahan berarti. Masih berstatus lajang lapuk. Para wanita di rantau memiliki selera tinggi dan sepertinya sangat sulit dijangkau oleh Keling.
  
Keling bersama sang Istri Tercinta
Keling kembali ke Kampung Nelayan. Menata kembali piguranya yang retak. Masih dengan semangat membara. Saya harus mengakui daya juang Keling dalam mewujudkan harapannya. Saya merasa tidak banyak lelaki yang memiliki tekad keras seperti Keling. Jujur saya katakan, termasuk saya. Keling masih percaya bahwa Tuhan telah menciptakan seorang wanita dari tulang rusuk kanannya dan tidak sampai disitu ia justeru semakin yakin jodohnya itu sudah dekat. Keling telah berusaha sekuat tenaga bekerja keras, membanting tulang mengumpulkan pundi-pundi uang untuk bekal hidup berumah tangga. Ia juga sudah menempuh berbagai cara untuk menaklukkan hati wanita. Menebar pesona pada makhluk cantik keturunan hawa di muka bumi. Tapi jodoh belum juga menyapanya. Secara lahiriah perjuangan Keling sudah maksimal namun secara batiniah usahanya belum optimal. Sadar akan hal itu, Keling giat beribadah. Menangkupkan doa kiranya Tuhan memudahkan jodohnya. Pintanya hanya satu. Semoga Tuhan memberinya calon istri yang baik hati. Kategori cantik nomor sekian.

Foto Sala Udink.
Keling Memperlihatkan Jam Tangan yang Sama dengan Istrinya 
 
Ternyata Tuhan memang tidak tidur. Tuhan mendengar semua doanya. Keling dipertemukan dengan seorang wanita yang tidak hanya cantik namun juga baik hati. Saya tidak tahu kisah kasih mereka bermula. Saya hanya tahu wanita itu serius dan tulus menerima Keling apa adanya. Sebagai bentuk keseriusan, wanita itu ikhlas mengikuti keyakinan Keling. Rapat singkat keluarga digelar untuk membicarakan seluruh tetek bengek pernikahan Keling. Disepakati pernikahan digelar sederhana. Panitia terbentuk dan bekerja penuh dedikasi. Seluruh administrasi pernikahan dilengkapi. Tenda terpasang sempurna. Pelaminan telah didekor dan kursi-kursi telah diatur rapi. Busana yang akan dikenakan Keling dan calon istrinya ketika menikah sudah siap. Tempat Keling melangsungkan ijab kabul memang di KUA Labuan Bajo tetapi yang banyak perubahan justeru rumah Keling. Setiap sudut rumah dihias sedemikian rupa agar dapat memanjakan mata para tamu yang datang. Keling komat-kamit merapal kalimat ijab kabul yang diajarkan Pak KUA. Kelihatan ia mau semuanya berjalan sempurna pada hari bersejarahnya nanti. Waktu terasa bergulir begitu lambat. Keling tidak sabar menyambut hari H pernikahannya. Keling mantap lahir bathin. 

Hari yang dinanti telah datang. Keluarga kecil, keluarga besar dan tetamu semua berbahagia. Mereka nampak gagah dan anggun mengenakan busana pesta andalan. Tidak terkecuali Keling dan calon isterinya. Tampilan mereka membuat kita berdecak kagum. Mereka telah menjelma menjadi raja dan permaisuri sehari.
Keling telah menikah, statusnya juga berubah. Kini ia resmi menyandang status sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga. Orang-orang yang telah mengacuhkannya selama ini diam seribu basa. Keling berhasil membungkam apatisme mereka dengan bukti buku nikah dari KUA Labuan Bajo. Angin kapal sekarang berbalik dari arah buritan. Menghempas orang-orang gagah, mapan dan berpendidikan namun belum juga menikah. Mereka dibully habis-habisan di dunia nyata dan lebih-lebih di dunia maya sampai mati kutu. Pada titik ini saya berharap mereka yang masih jomblo perlu banyak berguru pada seseorang yang bernama KELING. Untuk Keling, selamat menempuh hidup baru semoga SAMAWA...

Kampung Air..Labuan Bajo, 15 Maret 2017

Saturday, March 18, 2017

Bukan Mimpi yang Terbeli




Hasil gambar untuk pns
Ilustrasi: ada Kayung di antara mereka
    
Namanya Kayung, bukan nama aslinya tapi begitulah ia sering dipanggil. Sebenarnya nama resmi yang disematkan padanya oleh orang tua di dokumen administrasi kependudukan adalah Makrun. Seorang anak yang meski lahir di tengah kemiskinan kampung nelayan namun tetap tumbuh dengan belai kasih maksimal dari kedua orang tuanya. Kehidupan masa kecilnya tak ada yang istimewa. Semua dilakukan seperti umumnya anak kebanyakan. Bermain, mengaji dan sekolah. Untuk urusan sekolah, prestasinya pun biasa-biasa saja. Tak ada yang perlu dibanggakan. Eits, tunggu dulu, itu menurut kita. Menurut orang tua Kayung tidak. Mereka menganggap anaknya bersekolah saja itu sebuah kejutan. Menilai itu sebuah jawaban nyata dari doa yang tak putus-putus dipanjatkan ke Sang Khalik. Bagaimana mungkin ia tidak patut berbangga hati, anaknya masih tetap bersekolah sementara teman-teman Kayung sudah banyak yang putus sekolah. Saat itu, diakui memang minat anak-anak untuk bersekolah masih sangat rendah dan parahnya lagi didukung oleh pikiran sesat para orang tua yang lebih memilih anak-anaknya agar secepat mungkin terjun ke laut, menjadi nelayan meneruskan tradisi keluarga. Padahal kehidupan ekonomi masyarakat kampung nelayan kala itu tidak sedikit yang dikategorikan mampu atau kaya. Sehingga biaya sekolah bukanlah sebuah alasan yang masuk akal untuk tidak meneruskan pendidikan anak.








Hasil gambar untuk pns
Ilustrasi: Kayung Berdoa






















Seperti kebanyakan anak-anak pantai, ia tak pernah punya cita-cita tinggi. Mungkin ia tahu bahwa cita-cita adalah sebuah mimpi yang dipaksakan. Bukan pesimis tapi ia sadar ia berasal dari keluarga kurang mampu. Bapaknya hanyalah seorang nelayan miskin. Melaut dan menangkap ikan dengan menumpang perahu orang lain. Hasil tangkapan tidak seberapa karena harus dibagi banyak kepada pemilik perahu. Pemilik perahu mendapat bagian lebih. Untuk perahunya, untuk mesin perahu dan dirinya sendiri. Sementara bapaknya memperoleh sisanya. Itupun masih harus dibagi lagi dengan rekan kerja yang lain yang sama-sama berstatus sebagai anak buah. Berniat meringankan beban hidup keluarga, ibunya bekerja sebagai penjual ikan di pasar. Sebuah pilihan hidup yang rumit antara membagi waktu untuk bekerja dan menjadi ibu rumah tangga.
Mengandalkan penghasilan orang tuanya yang tak seberapa itu justeru semakin meyakinkannya bahwa cita-cita adalah beban masa depannya. Meskipun demikian, diam-diam orang tuanya berikrar dalam hati. "Nasib anakku harus lebih baik dari nasib kami sekarang".

***


Orang tua Kayung memang luar biasa. Pikirannya jauh ke depan. Ibarat orang main catur, ia sudah memikirkan beberapa langkah berikutnya sebelum melangkahkan bidak caturnya sekarang. Tidak sampai di situ, ia dengan percaya diri meyakini bahwa langkah yang dipilihnya akan berbuah kemenangan dengan raja lawan mati di kotak sudut. Meskipun orang tua Kayung dihimpit beban ekonomi, mereka tidak pernah menyerah untuk memberi hal yang terbaik untuk anaknya, termasuk terus menyemangati anaknya untuk terus bersekolah. Bapak Kayung menyadari, nasibnya sekarang menjadi nelayan itu karena kesalahannya dahulu yang memang tidak mau bersekolah. Oleh karena itu, ia bersikeras apapun yang terjadi ia tidak mau anaknya Kayung kelak menjadi nelayan mengikuti jejaknya. Biarlah menjadi nelayan cukup diwariskan kepada anak-anak kampung nelayan lainnya. Orang tua Kayung rupanya telah mengadopsi strategi Pemerintah Jepang untuk membangun kembali negaranya pasca bom atom meluluhlantakkan dua kota besarnya Hiroshima dan Nagasaki dengan membangun sumber daya manusianya. Pemerintah Jepang tahu mustahil mengelola sumber daya alam dalam waktu dekat di tengah kota yang terpapar radiasi bom atom yang parah. Satu-satunya pilihan adalah dengan mengirim anak mudanya bersekolah jauh ke luar negeri. Hasilnya kita lihat sendiri. Jepang kini telah menjadi kiblat kemajuan teknologi bagi negara lain. Orang tua Kayung telah memilih investasi bisnis jangka panjang yang menguntungkan.

Tekad itu terjaga dengan baik hingga tak terasa Kayung dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Teman sepermainan Kayung semasa kecil sudah banyak yang menikah bahkan ada yang kini telah memiliki anak seumuran anak SMP. Teman Kayung tak ada yang berpendidikan tinggi. Terhitung jari yang menamatkan pendidikan jenjang SMA. Kebanyakan drop out di SMP dan SD. Di masyarakat, Kayung tampil bersahaja dengan gelar Sarjana Ekonomi di belakang namanya. Orang tua Kayung tak pernah jumawa dengan keadaan sekarang. Bapaknya masih saja melaut meski kali ini nasibnya lumayan baik karena telah memiliki perahu sendiri. Perahu bekas yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya selama ini hingga uangnya cukup untuk membeli perahu.
Bak gayung bersambut, pasca diwisuda Kayung tidak lama menganggur. Dalam satu kesempatan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil ia langsung dinyatakan lulus dan diterima kerja menjadi PNS. Tidak tanggung-tanggung Kayung merupakan warga kampung nelayan pertama yang berhasil menjadi PNS. Seluruh warga kampung nelayan tercerahkan. Para orang tua mulai mendorong anak-anaknya untuk terus sekolah dan melanjutkan kuliah. Anak laki-laki kampung nelayan tidak lagi berminat menjadi nelayan. Sedangkan anak perempuan langsung menolak ketika orang tuanya menyuruh mereka menikah. Kultur kampung nelayan terus berubah seiring keberhasilan Kayung menduduki jabatan tertentu di pemerintahan meskipun masih di level eselon IV. Hampir tak terdengar lagi anak-anak kampung nelayan yang putus sekolah. Bahkan anak remaja sudah banyak yang sengaja meninggalkan kampung nelayan semata-mata pergi untuk mengenyam pendidikan di kota besar. Efek Kayung membuat anak-anak terobsesi mengikuti jejaknya. Bagi orang tua kampung nelayan lainnya, Kayung sering dijadikan kiblat keberhasilan mendidik anak.
Mengetahui dirinya obyek percontohan, Kayung merasa biasa-biasa saja. Ia justeru bersyukur orang-orang terinspirasi terhadap perjuangan orang tuanya.
Maka dengan sendirinya dapat meningkatkan harkat dan martabat orang tuanya. Kayung tahu apa yang diraihnya hari ini adalah benih yang ditanam orang tuanya sejak dahulu. Kerja keras yang diramu dengan kesabaran dan untaian doa orang tuanya, menjadikan Kayung menapak kesuksesan. Bahwa hasil tak pernah mengingkari niat dan proses. 



Kampung Nelayan Kayung


Namun, karir Kayung di pemerintahan tak selamanya mulus. Sudah tiga kali acara pelantikan digelar namanya tak pernah disebutkan. Jabatannya masih sama seperti tujuh tahun lalu. Seorang teman Kayung pernah menanyakan kepadanya bagaimana perasaan Kayung sampai saat ini belum dipromosi ke jabatan yang lebih tinggi. Dengan wibawa ia berujar panjang "Saya tetap bersyukur atas jabatan yang masih diamanatkan kepada saya. Terus terang, saya tidak punya ambisi sama sekali terhadap jabatan tinggi. Bagi saya Tuhan telah memberi bonus rezeki yang tiada tara kepada saya. Menjadi sarjana apalagi menjadi PNS itu sudah luar biasa sebab di satu sisi saya cukup beruntung dibanding teman-teman saya yang tidak bisa kuliah bahkan sekolah. Jadi untuk urusan karir di pemerintahan, saya mengalir seperti air saja". Teman Kayung masih bertanya. "Mengapa tidak mencoba mendatangi Bupati untuk minta naik jabatan". Kayung menjawab singkat. "Itu bukan karakter saya dan juga saya tahu diri, nenek moyang saya hanyalah seorang pelaut. Apa yang saya capai sekarang bukanlah mimpi yang terbeli".

Labuan Bajo,16 Maret 2017