Perlahan Labuan Bajo terus berkembang. Menyesuaikan laju pembangunan yang diproklamirkan Pemerintah. Dengan mengatasnamakan pembangunan, Pemerintah dengan mudah mempersempit ruang gerak masyarakat khususnya yang berada di kampung nelayan. Salah satu proyek berskala besar dimaksudkan untuk menyukseskan perhelatan akbar Sail Komodo 2013 yang lalu, Pemerintah mereklamasi pantai dan laut dengan membangun tembok penahan gelombang dengan jalan selebar 3 meter di sisinya sepanjang garis pantai Labuan Bajo dari utara ke selatan. Pemerintah dapat saja berkilah bahwa tujuan utama reklamasi laut dan pantai adalah untuk menghilangkan kesan kumuh pada kampung nelayan ini karena menganggap bangunan rumah masyarakat terkesan semrawut dan tidak tertata rapi. Dengan adanya jalan diharapkan agar aksesibiltas masyarakat semakin mudah. Pemerintah berpikir dengan terbangunnya jalan persis di sisi tembok penahan gelombang, seluruh rumah nantinya menghadap laut. Tapi tunggu dulu. Pemerintah sepertinya lupa dengan identitas dan karekter sebagian besar penduduk kampung nelayan di pesisir pantai. Bukankah dengan adanya reklamasi laut dan pantai justeru akan semakin menjauhkan mereka dengan laut. Serasa ada sekat tinggi yang membatasi gerak mereka dengan laut. Padahal tak bisa dipungkiri bahwa laut adalah sumber utama mata pencaharian mereka dan kampung nelayan adalah identitas asli masyarakat pesisir. Pada titik ini saya menjadi teringat akan keelokan pantai serta suasana kehidupan kampung nelayan dahulu.
Untuk itu, saya akan sedikit menggambarkan suasana keaslian kampung nelayan ini tempo dulu agar dapat merefleksikan bagaimana merawat identitas dan karakter yang nyaris sirna ini.
Suasana kekeluargaan begitu kental di kehidupan kampung nelayan. Warga yang kebetulan memperoleh hasil tangkapan lebih nampak ikhlas membagikan ikan tangkapannya kepada tetangga sebanyak untuk dikonsumsi. Bahkan ketika ada nelayan yang berhasil memperoleh ikan Cencara bertelur (ikan yang beraroma tajam namun enak dimakan), para tetangga membantu membelah ikan tersebut untuk mengeluarkan isi perut dan telur ikan di dalamnya. Seperti ada perjanjian mengikat dari dahulu telur ikan yang berhasil dipisahkan itu akan langsung menjadi milik tetangga yang membantu membelah ikan. Kekeluargaan terlihat nyata saat bulan purnama atau ketika laut sementara tidak bersahabat. Saat itu para nelayan memilih untuk tidak melaut. Menghabiskan waktu menunggu bulan baru dan laut kembali normal, biasanya mereka memilih untuk memperbaiki alat tangkap yang rusak. Salah satu aktivitas kampung nelayan malam hari yang tidak bisa saya lupakan adalah memperbaiki jaring yang rusak dan menggantinya dengan jaring yang baru. Di saat ini, saya menyaksikan para tetangga mengambil peran masing-masing untuk membantu warga lainnya menjahit jaring yang rusak atau yang baru yang dibentang panjang melewati sela-sela rumah panggung. Keceriaan nampak terlihat dari wajah mereka. Semangat gotong-royong ternyata telah lama tumbuh subur di jiwa mereka. Sebagian besar rumah di kampung nelayan berbentuk panggung dengan kolong rumah sering dijadikan tempat menaruh ikan. Karena keaslian identitas dan karakter sebagai kampung nelayan, tidak jarang bule (kami sering memanggilnya turis) datang berkunjung untuk melihat dari dekat kehidupan masyarakat nelayan. Mengabadikan momen berharga dengan kameranya dan hampir tidak dipercaya banyak foto-foto hasil jepretan mereka yang dikirim kembali dari luar negeri tiba di kampung nelayan.