Wednesday, February 22, 2017

Merawat Identitas Masyarakat Pesisir Labuan Bajo

Saat ini wajah Labuan Bajo sudah sangat berbeda. Hampir setiap sudut kotanya mengalami perubahan. Di sana-sini tersentuh geliat pembangunan. Setahun saja kita meninggalkannya, saat kembali lagi niscaya banyak tempat yang telah berubah. Maklum saja, perubahan ini merupakan konsekuensi yang harus diterima. Bayangkan saja sebuah desa yang dahulu menjadi ibukota Kecamatan Komodo, lokasinya sangat jauh dari ibukota Kabupaten Manggarai yang mencapai jarak kurang lebih 120 km, namun pasca pemekaran Kabupaten Manggarai Barat sebagai daerah otonom baru, status Labuan Bajo kini telah berubah drastis menjadi ibukota Kabupaten Manggarai Barat. Kabupaten yang sangat identik dengan Komodo ini, layaknya sebuah gadis jelita yang menjadi rebutan para lelaki untuk dipinang dan dipersunting. Maklum saja, sejuta potensi wisata mampu menarik wisatawan dan investor berbondong-bondong mengunjunginya. Namun derap pembangunan yang sangat dinamis ini seolah sengaja ingin menghilangkan identitas dan karakter asli masyarakat pesisir Labuan Bajo sebagai masyarakat yang menggantungkan asanya pada laut dan pantai. Menjadi seorang nelayan dalam sebuah komunitas yang bernama kampung nelayan.

 Foto Yayat Afrizhal.

Sebagai salah seorang yang lahir dari rahim kampung nelayan di pesisir Labuan Bajo di awal tahun 80-an serta tumbuh dan besar di tempat ini. Sedikit banyak saya merasakan dan mengalami sendiri dinamika perkembangannya dari waktu ke waktu. Dari saat penerangan masih mengandalkan lampu pelita dan suluh hingga sekarang terang benderang oleh listrik. Dari saat uang Rp.5,- masih berlaku hingga sekarang orang mudah bertransaksi dengan kartu debet atau kredit. Dari saat sepeda menjadi barang langka hingga sekarang mobil telah menjadi hal biasa pelengkap pekarangan rumah.
Perlahan Labuan Bajo terus berkembang. Menyesuaikan laju pembangunan yang diproklamirkan Pemerintah. Dengan mengatasnamakan pembangunan, Pemerintah dengan mudah mempersempit ruang gerak masyarakat khususnya yang berada di kampung nelayan. Salah satu proyek berskala besar dimaksudkan untuk menyukseskan perhelatan akbar Sail Komodo 2013 yang lalu, Pemerintah mereklamasi pantai dan laut dengan membangun tembok penahan gelombang dengan jalan selebar 3 meter di sisinya sepanjang garis pantai Labuan Bajo dari utara ke selatan. Pemerintah dapat saja berkilah bahwa tujuan utama reklamasi laut dan pantai adalah untuk menghilangkan kesan kumuh pada kampung nelayan ini karena menganggap bangunan rumah masyarakat terkesan semrawut dan tidak tertata rapi. Dengan adanya jalan diharapkan agar aksesibiltas masyarakat semakin mudah. Pemerintah berpikir dengan terbangunnya jalan persis di sisi tembok penahan gelombang, seluruh rumah nantinya menghadap laut. Tapi tunggu dulu. Pemerintah sepertinya lupa dengan identitas dan karekter sebagian besar penduduk kampung nelayan di pesisir pantai. Bukankah dengan adanya reklamasi laut dan pantai justeru akan semakin menjauhkan mereka dengan laut. Serasa ada sekat tinggi yang membatasi gerak mereka dengan laut. Padahal tak bisa dipungkiri bahwa laut adalah sumber utama mata pencaharian mereka dan kampung nelayan adalah identitas asli masyarakat pesisir. Pada titik ini saya menjadi teringat akan keelokan pantai serta suasana kehidupan kampung nelayan dahulu.
Untuk itu, saya akan sedikit menggambarkan suasana keaslian kampung nelayan ini tempo dulu agar dapat merefleksikan bagaimana merawat identitas dan karakter yang nyaris sirna ini. 

Foto Yayat Afrizhal.
Layaknya wilayah pesisir lainnya, kehidupan masyarakat kampung nelayan Labuan Bajo kala itu juga menyimpan identitas dan karakter asli wilayah pesisir. Setiap saat penduduk bergelut dengan laut dan pantai. Selalu saja ada kegiatan untuk mengekspersikan kegembiraan menatap air laut yang pasang dan surut. Perahu dan bagan nelayan (sejenis perahu yang memiliki tangan khusus untuk menangkap ikan) terlihat anggun menari mengikuti riak gelombang dan bila malam hari pendar cahaya dari lampu petromaks yang menyala dari perahu dan bagan di kejauhan membentuk formasi bak kunang-kunang berbaris melengkapi indahnya malam. Saat air laut pasang, nelayan tidak perlu mengayuh sampan jauh ke tengah laut hanya untuk menangkap ikan tapi cukup dengan menjulurkan alat pancing langsung dari tepi pantai, ikan dengan mudah akan didapat. Kebahagiaan juga terpancar dari raut wajah anak-anak pesisir. Bagi mereka menjadi waktu yang tepat untuk bermandi ria. Air laut pasang dianggap sebagai kolam renang raksasa yang selalu menggoda mereka untuk berenang. Untuk itu, dapat dipastikan tak ada anak-anak yang tak mampu berenang. Bahkan di usia dinipun mereka telah menguasai berbagai macam gaya berenang. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mampu menyelam di kedalaman air untuk waktu yang cukup lama. Pemandangan menarik juga terlihat saat air laut surut di siang hari yang mencapai radius 500 meter dari tepi pantai. Para lelaki dewasa tengah sibuk memperbaiki perahunya yang rusak. Ada yang sekedar membersihkan dasar perahu dari kerang-kerang yang menempel. Ada juga yang sibuk mengecet kembali perahu agar terlihat indah kembali. Para ibu-ibu atau wanita dewasa juga tidak mau ketinggalan. Mengambil ember dan parang untuk mencari kerang dan siput. Beranjak pulang saat embernya penuh. Siput dan kerang diolah dengan sentuhan tradisional untuk dijadikan lauk-pauk keluarga. Anak-anak memanfaatkan siklus air laut surut ini juga untuk bermain. Ada yang bermain bola di atas pasir yang terhampar. Ada pula yang bermain perahu-perahuan di titik air laut yang tergenang bak oase di padang pasir. Jika air laut surut di malam hari, orang dewasa memanfaatkannya untuk berburu rajungan (sejenis kepiting). Berbekal lampu petromaks, ember, parang atau tombak, berjalan di air laut yang tingginya selutut mengawasi pergerakan kepiting dan hewan laut lainnya. Mata mereka sangat jeli membedakan rajungan dengan batu karang.

Foto Adryansyah Faiz.



Suasana kekeluargaan begitu kental di kehidupan kampung nelayan. Warga yang kebetulan memperoleh hasil tangkapan lebih nampak ikhlas membagikan ikan tangkapannya kepada tetangga sebanyak untuk dikonsumsi. Bahkan ketika ada nelayan yang berhasil memperoleh ikan Cencara bertelur (ikan yang beraroma tajam namun enak dimakan), para tetangga membantu membelah ikan tersebut untuk mengeluarkan isi perut dan telur ikan di dalamnya. Seperti ada perjanjian mengikat dari dahulu telur ikan yang berhasil dipisahkan itu akan langsung menjadi milik tetangga yang membantu membelah ikan. Kekeluargaan terlihat nyata saat bulan purnama atau ketika laut sementara tidak bersahabat. Saat itu para nelayan memilih untuk tidak melaut. Menghabiskan waktu menunggu bulan baru dan laut kembali normal, biasanya mereka memilih untuk memperbaiki alat tangkap yang rusak. Salah satu aktivitas kampung nelayan malam hari yang tidak bisa saya lupakan adalah memperbaiki jaring yang rusak dan menggantinya dengan jaring yang baru. Di saat ini, saya menyaksikan para tetangga mengambil peran masing-masing untuk membantu warga lainnya menjahit jaring yang rusak atau yang baru yang dibentang panjang melewati sela-sela rumah panggung. Keceriaan nampak terlihat dari wajah mereka. Semangat gotong-royong ternyata telah lama tumbuh subur di jiwa mereka. Sebagian besar rumah di kampung nelayan berbentuk panggung dengan kolong rumah sering dijadikan tempat menaruh ikan. Karena keaslian identitas dan karakter sebagai kampung nelayan, tidak jarang bule (kami sering memanggilnya turis) datang berkunjung untuk melihat dari dekat kehidupan masyarakat nelayan. Mengabadikan momen berharga dengan kameranya dan hampir tidak dipercaya banyak foto-foto hasil jepretan mereka yang dikirim kembali dari luar negeri tiba di kampung nelayan. 

 Foto Yayat Afrizhal.

Dinamika kampung nelayan terus bergerak. Bergeser jauh dari kehidupan mereka dahulu. Dalam rentang kurun waktu yang tidak terlalu lama, satu persatu sejarah telah ditorehkan. Banyak cerita yang tercipta menjadi kenangan tersendiri. Bahkan bisa menjadi dongeng pengantar lelap sang buah hati kelak. Sebab semuanya telah hilang ditelan teori pembangunan serta diperparah oleh faktor migrasi penduduk dari luar daerah yang terus meningkat yang dikhawatirkan akan menggerus eksistensi masyarakat kampung nelayan terbukti banyak nelayan kini telah beralih profesi ke pekerjaan yang tak ada kaitannya dengan laut. Kampung nelayan di sepanjang pantai Labuan Bajo tak lagi seperti dulu sehinga wajar bila saya merindukan suasana kampung nelayan Labuan Bajo seperti dua dekade silam. Hari ini kampung nelayan itu nyaris tersingkir dilindas pembangunan yang tak berpihak kepada mereka. 

Jalan baru reklamasi Labuan Bajo, 14 Februari 2017


Friday, February 10, 2017

Super Rais vs Boboiboy



Setiap generasi memproduksi tokoh hayal dan tokoh pahlawannya (baca: superhero) masing-masing. Tokoh superhero yang lahir dengan berbagai karakter yang kebanyakan termotivasi dari kekuatan super tak terbayangkan sebelumnya serta tidak jarang terinspirasi dari kedigdayaan berbagai jenis binatang. Setiap superhero yang ada memiliki penggemar fanatik sendiri. Termasuk Rais Bumi, putera pertamaku yang sangat menggandrungi Boboiboy. 

***
Hasil gambar untuk boboiboy
Kita masih ingat, di era 80-90-an begitu banyak lahir karakter superhero-superhero yang sengaja diciptakan lewat media komik lantas kemudian diangkat ke layar televisi. Penciptaan sebuah karakter superhero menunjukkan daya imaginasi yang tinggi dari sang kreatornya. Di Amerika dan negara eropa sebut saja Superman, Superboy, Batman, Aquaman, Spiderman, Wonderwoman dan lain sebagainya. Sedangkan di asia khususnya jepang pun tidak mau kalah. Jepang dewasa ini telah menjadi kiblat bagi negara-negara lain dalam ide pembuatan tokoh superhero dalam bentuk kartun dan animasi. Beragam superhero lahir di negeri sakura ini. Ada Giban, Satria Baja Hitam, Ultraman, Naruto, dll. Namun yang mencengangkan justru superhero yang baru-baru ini lahir di negeri jiran Malaysia. Apalagi kalau bukan Boboiboy. Serial animasi dengan sentuhan teknologi modern ini hampir tiap hari tayang di media televisi kita. Memanjakan mata dan hati anak-anak dengan cerita heroik Boboiboy dkk dalam menyelamatkan bumi dari ulah dan tangan jahil musuh-musuhnya. Aksi heroik Boboiboy, Gopal, Ying, Yaya dan Fang membuat takjub anak-anakku terutama Rais Bumi. Dia telah "cinta mati" dengan peran Boboiboy.

***

Kegandrungannnya pada Boboiboy sudah berada pada level super pula. Nyaris seluruh yang bernuansa Boboiboy dikoleksinya. Beberapa pasang baju dan celana Boboiboy, topi Boboiboy beraneka warna, jaket, kaos kaki, sandal, tas, jam tangan, bola bahkan sepatu bergambar Boboiboy. Meskipun dia belum sekolah tetapi koleksi buku bersampul Boboiboy juga telah dimilikinya. Tidak ketinggalan susu dan shampo yang memanfaatkan ketenaran Boboiboy dalam gambar kemasannya juga telah dibelinya.
Saking "gilanya" pada Boboiboy, sering dipraktekkannya dalam beberapa kesempatan bagaimana adegan Boboiboy mengeluarkan jurus kekuatan super lengkap dengan istilah atau aji-ajinya. Saya sering mendengar ia berteriak "Boboiboy api, Boboiboy tanah, Boboiboy air, Boboiboy angin, Boboiboy daun".
Tidak sampai di situ, belakangan ia hanya mau dipanggil Boboiboy. Sangat marah kalau kami berguyon memanggilnya dengan nama aslinya atau nama lain selain Boboiboy. Ia tidak pernah tahu kalau aku dan ibunya telah memilih nama terbaik baginya jauh sebelum ia lahir bahkan prosesi penyematan namanya secara resmi dilakukan dengan mengorbankan dua ekor kambing sebagai prasyarat seorang anak laki-laki pada saat diaqiqah.  

   
Aku tahu kegemarannya pada tokoh super Boboiboy tidak bertahan lama, hanya berlangsung saat ia masih kecil saja. Kelak ketika usianya sudah semakin tinggi perlahan dan pasti ia akan meninggalkan kenangan Boboiboy bersama seluruh koleksinya. Namun satu hal yang dapat dipetik dari cerita ini adalah anak sekecil Rais Bumi telah mampu melihat dan membingkai kesimpulan, mana tokoh yang protagonis dan mana tokoh antagonis. Mana yang patut dijadikan teladan dan mana yang patut ditinggalkan.

Pantai Pede, 5 Februari 2017

Monday, February 6, 2017

Sensasi Berburu Pakaian bekas Impor (Rombengan)

Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan melarang impor pakaian bekas dari luar negeri. Pemerintah berkeyakinan bahwa melalui pakaian bekas yang banyak masuk ke dalam negeri dikhawatirkan membawa serta kuman, bakteri dan virus penyakit dari luar negeri. Jelas saja kebijakan ini mendapat tentangan yang beragam dari masyarakat terutama dari para pedagang pakaian bekas itu sendiri bahkan protes keras yang disuarakan langsung oleh para pemburu pakaian bekas. Termasuk saya diantaranya. Saya menilai apapun alasannya, berburu pakaian bekas merupakan suatu sensasi luar biasa. Ada kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kalimat. Paling tidak itu pula yang dirasakan sebagian besar pecinta pakaian bekas. Kok bisa?

***

Pagi itu, ia memulai hari dengan lebih ceria. Dari tadi senyum tipis akrab terbit di bibirnya. Alampun melengkapi gembiranya dengan matahari yang bersinar lembut. Sepertinya ia sudah tidak sabar untuk sesegera mungkin menggelar dagangannya di Pasar Wae Kesambi. Maklum hari ini adalah hari Sabtu di pekan pertama tiap bulan. Dimana ia memiliki jadwal khusus untuk membuka berbal-bal (ukuran jauh lebih besar dari karung biasa) rombengan. Hari yang juga sangat dinanti-nantikan para pemburu rombengan. Momen dimana para pemburu rombengan lebih dahulu berjubel memenuhi lapak-lapak dari pedagang itu sendiri. Sekali saja ia berteriak lantang "buka baru" para pemburu rombengan telah sigap mengambil pilihannya. Urusan harga kemudian yang penting rombengan yang dipilih cocok dan sesuai dengan keinginan. Ia berharap agar rombengan yang ada dalam bal-bal yang baru datang dari luar negeri memiliki kualitas yang baik. Sehingga seluruhnya laris dan akhirnya meraih untung besar. Sejuta asa kini menggelayut di hatinya.

***

Saya juga tahu kalau hari ini para pedagang rombengan di Pasar Wae Kesambi Labuan Bajo berlomba-lomba membuka bal-bal berisi pakaian bekas impor (rombengan). Pas sekali, momennya bertepatan dengan hari libur kerja. Olehnya sangat sayang kalau momen berburu rombengan ini dilewatkan begitu saja. Saya bisa memiliki lebih banyak waktu untuk memilah dan memilih rombengan yang saya incar. Kebetulan saat ini saya membutuhkan celana pendek dan jaket. Tapi kalau misalnya saya menemukan baju kaos, kemeja atau celana panjang jeans yang bagus, cocok dan bermerk orisinil mau tidak mau saya harus membelinya juga. Sepertinya istilah "mumpung ada dan mumpung murah" berlaku untuk kondisi ini.

***

Lain cerita dengan temanku yang bernama Ridho. Hampir dipastikan setiap Sabtu ia berburu rombengan. Selalu saja ada rombengan yang diminatinya. Yang penting bagus dan bermerk top, ia tak peduli ukurannya. Baginya ukuran yang penting tidak kekecilan karena kalau longgar masih ada penjahit langganannya yang akan mempermak sesuai keinginannya. Hasil buruan rombengannya sudah sangat banyak. Katanya hampir memenuhi satu lemari tiga pintu. Belum terhitung rombengan milik istri dan anak-anaknya. Kalau disatukan mungkin cukup untuk membuka butik atau distro khusus pakaian bekas lagi.

***

Saban Sabtu dan lebih-lebih Sabtu pada saat "buka baru" Pasar rombengan di Wae Kesambi Labuan Bajo selalu penuh sesak diminati pemburu rombengan yang berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda. Dari masyarakat biasa sampai yang luar biasa, yang sengaja datang menggunakan kendaraan pribadi. Berpenampilan necis dan sangat mengerti merk dan tren fashion terkini.

***

Pasar rombengan di Wae Kesambi Labuan Bajo tidak sedikit yang menyebutnya sebagai mall karena rombengan di sini dipajang sedemikian rupa sehingga mudah bagi pemburu rombengan untuk melihatnya dengan utuh. Kerap kali saya kesana berjumpa dengan kawan-kawan pemburu rombengan lainnya. Terkadang juga saya menemukan pemburu rombengan pemula yang masih malu-malu dan terlihat kikuk. Mungkin di pikirannya masih berkecamuk sebuah tanda tanya besar bahwa rombengan itu hanya layak digunakan oleh kaum berkasta rendah. Sikapnya masih sungkan untuk menerima  kenyataan bahwa rombengan itu barang impor. Banyak yang berkualitas dan masih terlihat baru karena label merk pabrik masih melekat. Yang tidak kalah pentingnya juga, rombengan yang kita beli apapun jenisnya dapat dipastikan hanya kita sendiri yang menggunakannya. Maka dari itu tidak berlebihan kiranya kalau saya menilai bahwa berburu rombengan memberi sensasi tersendiri bagi para pemburu rombengan. Bukan saja karena memilih rombengan itu memerlukan kecermatan tetapi juga keberuntungan. Bagaimana kualitas dan harga harus dapat dikompromikan.

Kamar 25° C, Labuan Bajo, 9 Februari 2017