Saturday, May 28, 2016

Mimpi dan Doa Seorang Ibu Penjual Kue

Tak bisa dipungkiri, setiap orang tua sangat menyayangi anak-anaknya. Segala daya upaya rela dilakukan demi memberikan sesuatu yang terbaik kepada buah hatinya. Tanpa bermaksud menyepelekan peran seorang bapak, kehadiran seorang ibu menjadi sangat berarti bagi kehidupan anak-anaknya.
***

Masih gulita, Ibu itu telah bangun dari tidurnya. Ia memang terbiasa bangun mendahului kokok ayam jantan di pagi buta. Ia terjaga dari tidur lelapnya jauh sebelum muadzin mengumandangkan adzan shubuh. Anehnya, tanpa alarm pengingat waktu, kesadarannya sepertinya sudah tersistem otomatis untuk memaksanya bangun di sekitar jam setengah empat dini hari.  Tak pernah meleset, setiap hari, selalu begitu, dan entah kapan akan diakhirinya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan ia melakukan semua itu. Ia memang sengaja bangun secepat itu karena ingin segera membuat penganan untuk dapat dijual di pagi hari. Maklum, jenis penganan yang dibuatnya setiap hari beraneka ragam, meskipun masih seputar kue-kue tradisional. Cara membuatnya lumayan menyita waktu sehingga harus pandai-pandai mengatur waktu agar dapat selesai tepat waktu. Kue buatannya ada yang berbentuk lonjong, bulat, persegi panjang dan berlubang. Ada yang dibungkus daun pisang, dilumuri gula merah, dan ditaburi wijen. Ada yang digoreng, dikukus bahkan dibakar atau dipanggang. Pekerjaannya tidak berhenti sampai semua kue buatannya matang. Setelah menunaikan sholat shubuh, ditatanya kembali semua kue berdasarkan jenis dan bentuknya dalam beberapa wadah khusus untuk selanjutnya dijual di emperan toko pinggir jalan raya. Berharap orang-orang yang lewat sudi membeli dagangannya. Terkadang kue-kue dagangannya laris manis dan ludes terjual persis ketika matahari baru keluar dari peraduannya. Namun, tidak jarang juga kue-kue dagangannya masih tersisa. Kalau sudah begitu untuk mengurangi resiko kerugian yang lebih banyak, dijualnya kue-kue yang belum laku tersebut di pasar atau di tempat-tempat orang ramai berkumpul. Bentuk kerja kerasnya tanpa mengenal waktu, setiap hari minggu pagi ia terlihat pula berjualan di depan gereja. Kali ini target penjualannya adalah orang-orang yang baru selesai beribadat. Semua proses ini dikerjakan sendiri dengan sangat tekun dan tak pernah sekalipun terbersit keluhan dari mulutnya, meskipun kalau diamati rona wajahnya dengan seksama, nampak sangat jelas terpancar kalau ia begitu sangat lelah.
***
Ibu ini tak pernah malu berjualan di pinggir jalan ataupun di depan gereja. Semangatnya tak pernah surut menantang matahari yang menyengat, deru debu jalanan dan hujan yang deras. Apa yang dilakukan selama tidak merugikan orang lain, maka ia akan setia melakukannya dan yang terpenting baginya pekerjaan sebagai penjual kue merupakan pekerjaan yang halal. Lebih baik dari sekedar meminta dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Sebuah prinsip hidup yang patut diwariskan kepada anak-anaknya.
***
Semula apa yang dilakukannya ini semata-mata ingin membantu meringankan beban keluarga, namun setelah sang suami tidak lagi memiliki penghasilan tetap, niat awal berubah menjadi lebih berat karena harus menjadi tulang punggung dalam menafkahi hidup keluarga termasuk mengejar mimpinya melihat anak-anaknya sukses di kemudian hari.
Memang usianya tidak lagi muda namun melihat raut wajah dan kondisi fisiknya saat ini sepertinya usianya jauh lebih tua dibanding usia sesungguhnya kini.
Kesibukan maha beratnya menafikkan waktunya untuk sedikit bersolek. Sudah sangat jarang ia menggunakan make up. Terakhir ia merias wajahnya lebaran idul adha tahun lalu. Itu artinya sudah hampir satu tahun berlalu. Sehari-hari sapuan bedak di wajahnya telah berganti menjadi asap yang keluar dari kompor minyak tanah yang menyala, lipstik telah berganti dengan debu jalanan, lotionnya adalah terik matahari langsung. Badannya semakin kurus pertanda kalau makan dan gizi baginya adalah urusan berikut. Tubuhnya mulai ringkih memberi kesan kalau ia harus banyak istirahat. Semua ini sengaja ia lakukan demi membahagiakan keluarga termasuk menyekolahkan keenam anak-anaknya sampai ke jenjang setinggi mungkin.
***
Dengan untaian doa yang tak pernah putus kepada Sang Pemberi Rezeki, perlahan-lahan jerih payahnya membuahkan hasil. Satu persatu anaknya dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi hingga selesai. Bahkan tiga dari lima anaknya yang diwisuda telah memperoleh pekerjaan yang dapat dikatakan cukup mapan. Sedangkan dua anak lainnya telah pula memiliki pekerjaan meskipun tidak tetap, setidaknya penghasilan yang diperoleh keduanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak lagi membebani orang tua.
Anaknya yang bungsu, baru menyelesaikan sekolah tingkat atas dan sebentar lagi akan masuk kuliah. Tapi itu bukan alasan yang patut sampai dia masih harus banting tulang dalam bekerja. Anak-anaknya yang telah bekerja sebenarnya sanggup membiayai adiknya meneruskan sekolah hingga ke bangku kuliah namun ibu itu beralasan bahwa ia tidak ingin perlakuan kepada anak-anaknya berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk dalam hal membiayai uang kuliah. Baginya silahkan anak-anaknya saling mendukung satu sama lain dalam mencapai kesuksesan. Yang terpenting baginya ia masih memiliki kesempatan untuk memberikan kebahagiaan yang adil kepada seluruh anaknya.
***
Tanggung jawab seorang ibu kepada anaknya sungguh luar biasa sehingga mustahil seorang anak dapat membalas jasa ibunya sampai kapanpun. Ibu adalah sosok yang tak pernah menunjukkan rasa sedihnya ketika menderita. Ia tetap menebar senyum dan semangat dikala menghadapi masalah dalam hidup dan justru menangis ketika dirinya dirundung bahagia, terutama bahagia saat melihat anaknya sukses dan berhasil.
Menjadi seorang anak memiliki kewajiban untuk menghormati ibunya. Kedudukannya lebih tinggi bahkan tiga kali sebelum bapak.
Untuk itu, apapun profesi ibu tetaplah bangga menjadi anaknya sekaligus berbuat sesuatu yang berkesan yang membuatnya bangga menjadi seorang ibu. Sebaliknya janganlah melukai hatinya dengan prilaku durhaka kepadanya. Sebab sakit yang dirasakan saat ia melahirkan kita belumlah seberapa dengan goresan luka akibat prilaku dosa dan durhaka kepadanya. Kawan, teruslah berdoa kepada Tuhan semoga DIA senantiasa menyayangi dan mengasihi orang tua (ibu) kita sebagaimana mereka menyayangi dan mengasihi kita sewaktu kecil. Amin...

Menjelang tidur, 28 Mei 2016

Monday, May 23, 2016

Membangun dari Pinggiran

Membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa merupakan satu dari sembilan program andalan pemerintahan Jokowi-JK yang lazim dikenal dengan Program Nawacita. Program pembangunan dari pinggiran sendiri termaktub dalam program Nawacita yang ketiga. Sangat logis alasan yang melatarbelakangi. Pemerintahan Jokowi-JK menilai wilayah pinggir atau desa masih mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan padahal secara teoretis desa merupakan ujung tombak pembangunan karena sebagian besar masyarakat bermukim di desa. Untuk merealisasikan program tersebut digelontorkanlah anggaran untuk membangun desa dengan jumlah yang tidak sedikit. Langkah strategis ini sekaligus menghapus keraguan selama ini bahwa pembangunan di desa kerap tidak berjalan efektif karena selalu diperhadapkan pada masalah klasik yakni kurang atau tidak adanya anggaran pembangunan desa.
***
Saya yakin, pada saat Jokowi-Jk menyusun program ini sesaat setelah memutuskan untuk maju menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden, keduanya belum pernah melakukan blusukan langsung untuk melihat dari dekat kondisi desa-desa di Kawasan Indonesia Timur termasuk didalamnya Kabupaten Manggarai Barat. Meskipun demikian, berbekal informasi yang kompleks dan paripurna keduanya memahami secara jelas dan begitu yakin menarik seutas benang merah bahwa pembangunan desa dengan segala kompleksitas masalahnya wajib menjadi prioritas utama pemerintahannya.

Jauh sebelum itu, Gubernur NTT juga memiliki program unggulan Anggaran Untuk Rakyat Menuju Rakyat Sejahtera disingkat Anggur Merah. Program ini berupa pemberian dana bergulir yang diberikan kepada desa melalui kelompok-kelompok masyarakat produktif. Besaran angkanya cukup signifikan yakni sebesar 250 juta perdesa. Langkah inovatif ini memiliki tujuan mulia yaitu memberdayakan potensi usaha produktif masyarakat agar dapat tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Setali tiga uang, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah pula mengalokasikan anggaran yang lebih kepada desa melalui program Alokasi Dana Desa. Program ini sengaja merubah haluan pembangunan dari kota ke desa menjadi pembangunan dari desa. Harapannya mayoritas dana tersebut diprioritaskan bagi pemberdayaan rakyat, usaha ekonomi desa, pasar, penguatan modal bagi UKM dan koperasi, pembangunan jalan/jembatan, dan penguatan BUMDES.

Dengan komitmen tinggi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi terhadap arah pembangunan yang dimulai dari pinggir atau desa, seharusnya membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat ikut latah bahkan memiliki inovasi yang tinggi dalam membangunan desa dan memberdayakan masyarakatnya. 

Konsep pembangunan yang dimulai dari wilayah pinggir sengaja dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya terfokus di kota dan di pusat pemerintahan. Banyak contoh yang dapat menjadi referensi sebab berangkat dari sebuah pengalaman gagal bahwa pembangunan yang tersentralistik tidak memberi efek yang signifikan pada pembangunan dan pertumbuhan wilayah sekitar. Wilayah sekitar sengaja dibiarkan menjadi penonton pasif kemajuan pusat kota.  Sebaliknya, pembangunan yang dimulai dari daerah pinggir diyakini mampu mengurangi disparitas wilayah bahkan mempercepat pemerataan pembangunan. Selain itu, diharapkan melahirkan wilayah-wilayah pertumbuhan baru yang menstimulus pertumbuhan daerah secara keseluruhan. 

Saya sedikit pesimis konsep pembangunan semacam ini akan berjalan mulus di daerah ini. Sebab secara kasat mata saya tak menemukan implementasinya di lapangan. Alih-alih merasakan keberhasilannya. Pembangunan di daerah ini sepertinya kehilangan orientasi. Menapak pada kondisi ambiguitas. Bingung memulai dari mana, dari pinggiran/desa atau dari pusat kota. 
Pembangunan daerah pinggiran dan desa tidak menunjukkan hasil yang proporsional. Kita masih melihat wilayah desa yang belum sekalipun tersentuh aliran listrik dan air minum bersih. Masih ditemukan akses jalan menuju desa yang kondisinya memprihatinkan. Jembatan penghubung dua wilayah desa yang luput dari pantauan. Fasilitas kesehatan dan pendidikan di desa yang masih jauh dari standar.
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di ibu kota kabupaten bahkan kondisinya masih lebih miris. Hal ini sangat ironi dengan status kabupaten yang mengandalkan pariwisata sebagai leading sectornya. Saya tak perlu repot-repot untuk menunjukkan bukti argumentasi saya karena ketika anda menjejakkan kaki di Labuan Bajo ibukota Kabupaten Manggarai Barat sudah nampak telanjang di mata kita kondisi kota yang sepertinya kurang terurus. Kondisi jalan-jalan dalam kota yang banyak berlubang, hujan sedikit menimbulkan genangan yang nyaris menyerupai kubangan yang tentu berbahaya bagi pengendara. Trotoar yang tidak lagi berbentuk utuh. Sistem drainase yang tidak berjalan normal. Banyak saluran air yang buntu bahkan ada jalan yang kedua sisinya sama sekali belum dibangun drainase sehingga ketika hujan turun, air hujan dengan enteng memenuhi badan jalan. 

Meskipun air minum bersih merupakan kebutuhan vital masyarakat, namun kita masih kerap menjumpai masyarakat merasakan krisis air minum bersih. Ketika musim hujan banyak pipa yang mengalami kerusakan, bocor ataupun patah. Pada titik ini mungkin kita masih bisa memakluminya, namun karena lambannya petugas memperbaiki pipa yang bermasalah tersebut memaksa masyarakat memilih alternatif lain seperti mengkonsumsi air sumur atau bahkan membeli air kemasan saja. Kalau di musim penghujan saja masyarakat mengalami krisis air, bagaimana dengan saat berada dalam musim kemarau, yang memang debit air telah berkurang signifikan. Dipastikan banyak masyarakat yang terpaksa merogok kocek lebih banyak hanya untuk membeli air sumur yang diisi dalam tangki penampung khusus dan dijajakan keliling menggunakan mobil bak terbuka. 

Pembangunan di bidang kesehatan juga belum menunjukkan hasil yang signifikan, setidaknya dapat dilihat dari belum beroperasinya rumah sakit umum daerah, padahal peletakan batu pertama pembangunan RSUD telah berlangsung lebih dari lima tahun. Rentang waktu yang sangat lama mengingat rumah sakit swasta yang baru saja dibangun tahun lalu, sudah beroperasi secara resmi. Keberadaan RS swasta ini banyak membantu dalam penanganan medis yang lebih intensif termasuk penanganan rujukan. Meski biayanya cukup mahal namun setidaknya ada alternatif lain yang lebih dekat dibanding harus ke daerah lain seperti Ruteng, Bima, Denpasar dan Makassar.


Pembangunan dengan segala teorinya, akan efektif manakala metode pendekatan yang digunakan mempertimbangkan karakteristik daerah. Untuk itu, tidak semua teori pembangunan yang ada dapat berlaku aplikatif di setiap daerah. Pada titik ini, setiap pengambil kebijakan di daerah hendaknya dapat merumuskan kebijakan pembangunan daerah yang betul-betul berangkat dari sebuah rasa empati yang tinggi pada nasib masyarakat. Akhirnya, apapun metode pembangunan yang telah dipilih, akan berakhir sia-sia manakala tidak dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Dan ini menjadi pekerjaan rumah besar pengambil kebijakan tertinggi di daerah ini. Ahh...


Labuan Bajo, 24 Mei 2016



Sang Penafsir Mimpi



Namanya Mace, aku mengenalnya belumlah terlalu lama, baru berjalan sekitar 11 tahun. Namun karena selama itu pula aku masih sekantor dengannya, maka tidak bisa dibilang tidak aku mengenalnya lebih dekat. Mengenalnya menciptakan cerita sendiri bagiku. Beragam tema pembicaraan yang dia hasilkan. Tidak hanya sekedar tentang pekerjaannya sebagai pejabat dengan nama jabatan sepanjang jembatan tetapi juga terkait kisah klasik sebagai seorang laki-laki. Yah, apalagi kalau bukan tentang cerita makhluk lembut keturunan hawa. Ia begitu antusias ketika membedah topik ini. Sepertinya ia mempunyai cadangan cerita yang tak pernah habis-habis. Selalu ada, aktual dan akurat. Maklum, untuk ihwal ini pengalamannya cukup berlimpah.
Karena saban hari ia terus bercerita tentang wanita, maka raut wajahnya selalu berseri-seri. Senyum keteduhan selalu tersungging di bibirnya. Hatinya laksana dipenuhi bunga-bunga yang merekah. Lebih puitis dan romantis. Efek selanjutnya ruangan kerja kami menjadi segar dan merona. 

Suatu hari, ia tidak masuk kantor. Suasana begitu berbeda. Perasaan terman-teman refleks terpaut satu dengan lainnya merasakan ada sesuatu yang kurang bahkan hilang. Kami sepakat merindukan mulutnya kembali bercerita tentang keindahan, kelembutan dan pesona seorang wanita. Membayangkan bagaimana ia sangat bergelora menceritakan pengalaman terkininya tentang wanita. Aduhai, sungguh menarik dan menghipnotis.
Namun, belakangan perilakunya berubah seratus delapan puluh derajat. Kuyakini ini ada kaitannya dengan Pilkada. Ia berubah drastis menjelang gaung pilkada ditabuh. Ia tidak lagi tertarik berbicara mengenai wanita. Baginya topik Pilkada lebih seksi dari tubuh wanita. Ia lebih sensitif membicarakan peluang menang-kalah calon kepala daerah. Analisisnya mengalahkan analisa seorang pengamat politik. Segala aspek calon kepala daerah diramu sedemikian rupa menjadi sebuah informasi berharga. Saking antusiasnya dengan dinamika politik lokal, tidak tanggung-tanggung ia menceburkan diri dalam tim pemenangan salah satu paket kepala daerah. Ia bergerak aktif menggalang dukungan bahkan terkesan terlalu vulgar dalam mengomentari calon kepala daerah yang bukan jagoannya. Ia tampil terang-terangan mengkampanyekan visi-misi kandidat calonnya. Berargumen lantang untuk mematahkan pendapat lawan. Ia tidak pernah takut dengan resiko yang dihadapinya kelak. Menurutnya, ia telah menghitung matang untung-ruginya.
Perubahan sikap di atas, dengan segala konsekuensi yang ada telah diterimanya sebagai sebuah pilihan politik yang pasti. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang harus dimaklumi oleh setiap orang.
Namun ada yang lebih menarik dari sederet perubahan perilaku kawanku satu ini. Mendadak ia telah menjadi seorang ahli tafsir mimpi. Bukan mimpi orang lain tapi mimpinya sendiri. Mimpi yang terangkai dari tidur singkatnya setiap malam dan merupakan buah dari hayalan panjangnya sebelum kedua kelopak matanya terkatup rapat saat malam hari. Pada umumnya, selain mimpi buruk orang-orang cenderung melupakan mimpinya saat bangun tidur dan baru teringat kembali manakala ada momen lain yang sebentuk dengan mimpinya beberapa waktu kemudian. Lain orang, lain pula kemampuannya. Baginya ia dapat mengingat secara runtut rangkaian mimpinya tadi malam. Sudah begitu, ia dengan segala teori yang ada mencoba menafsirkan isi mimpinya dengan tingkat keyakinan di atas rata-rata. Apabila dicermati lebih sungguh-sungguh, tafsir mimpinya masih seputar gelaran Pilkada. Entah menggunakan variabel apa, sedikit-sedikit tafsir mimpinya selalu memiliki relasi dengan dinamika politik lokal, isu estafet kepemimpinan daerah ke depan serta bagaimana gaya kepemimpinan bupati dan wakil bupati sekarang. Ia sangat pandai meramu semuanya menjadi sebuah diskursus menarik. Keakuratan analisis mimpinya hanya dapat dibuktikan oleh waktu yang bergulir. Probabilitas kebenaran dan kekeliruannya berimbang dan tidak ada yang mendominasi. Sehingga kesimpulannya bergantung pada keyakinan lawan bicaranya.

Berbicara mengenai kebenaran dan keakuratan mimpinya, aku mencoba menginterprestasikan melalui nalarku sendiri.

Mula-mula aku mempertanyakan mengapa objek analisisnya hanya berkutat pada mimpinya sendiri? Bukankah seluruh ahli nujum memiliki kemampuan yang tinggi dalam menafsirkan mimpi orang lain? Memberikan beberapa proyeksi yang mungkin terjadi sekaligus tidak terjadi pada kliennya. Bagaimana cara menggapai hal-hal yang bersifat positif sekaligus trik dan tips cara menghidar dari hal-hal yang bersifat negatif. Meskipun seluruhnya nyaris bergerak pada situasi menakar kemungkinan. Ahli nujum tetap tidak berani mengambil resiko dalam menafsir mimpinya sendiri. Barangkali kawanku satu ini, memiliki keahlian khusus yang bertolak belakang dengan etik seorang penafsir mimpi pada umumnya. Ia hanya berani menafsir mimpinya sendiri dan rabun dalam menafsir mimpi orang lain.
Kemudian aku juga mempetanyakan mengapa analisas mimpinya selalu bertautan dengan politik dan kekuasaan? Bukankan masih ada atmosfer lain dalam kehidupan ini? Katakanlah berkaitan dengan jodoh, rezeki, panjang umur, kesehatan dan lain-lain. Untuk urusan ini ia sengaja memendam rahasianya dalam-dalam.
Analisis mimpinya satu persatu meleset, ia mafhum. Meskipun ada juga yang hampir benar. Ingat, bukan benar-benar benar. Melihat analisa mimpinya yang nyaris benar tersebut, ia besar kepala, hidungnya mengembang dan tentu dipastikan ia akan semakin “gila” menganalisis mimpinya. Mimpi yang barusan terbeli.

Meja kantor, Labuan Bajo, 16 Mei 2016

Thursday, May 19, 2016

Memaknai usia yang berlalu

Kehidupan masa depan adalah hal ghaib yang menjadi misteri Ilahi sehingga wajar bila manusia tak memiliki kuasa untuk meramalkan secara persis apa yang bakal terjadi kelak. Tuhan selalu memberikan yang terbaik kepada ummatnya meskipun manusia seringkali lupa bersyukur atas setiap karunia-Nya.
***
Aku merasa detik waktu terus berlari hingga setahun berlalu begitu cepat. Hari ini, tak terasa umurku bertambah satu, menjadi 35 tahun. Durasi waktu yang semestinya membuatku menjadi lebih baik. Hari ini Tuhan masih memberikan kemurahan bagiku untuk dapat memperbaiki akhlakku di masa depan. Aku yakin Tuhan masih memberikan hadiah untuk menikmati indahnya ciptaan-Nya agar aku dapat mengevaluasi diri kembali. Tuhan masih memberikan kesempatan untukku bertobat dan memohon ampunan atas segala salah, khilaf dan dosa yang telah kuperbuat.
***
Merefleksi jejak langkah yang kutoreh setahun terakhir menempatkanku pada sebuah titik permenungan. Apakah aku termasuk bagian dari manusia yang beruntung atau justru sebaliknya menjadikanku manusia yang merugi. Beruntung apabila keadaanku saat ini lebih baik dari tahun sebelumnya dan merugi apabila tahun lalu lebih baik dari tahun ini. Keadaan yang baik bukan dalam konteks materi dan keduniawian namun lebih kepada aspek ibadah dan pendekatan diri kepada Sang Pencipta. Seberapa besar hidup ini bermanfaat bagi orang lain dan bagi masa depan itu sendiri. Tidak hanya berhenti pada aspek kemanfaatan namun juga berharap sungguh pada keridhaan Azza wa Jalla.
Apabila sekiranya waktu yang telah lewat memahat lubang hitam besar pada catatan Malaikat Atid, aku ingin Tuhan tak pernah bosan menerima taubatku. Aku berharap di umurku yang kian bertambah ini, mampu menjadi goresan sejarah perjalanan hidupku. Bahwa saat ini bukan lagi waktunya yang tepat untuk melakukan introspeksi diri melainkan melakukan investigasi diri. Kemanakah arah akhir jarum timbangan menunjuk?Memberatkan amal kebajikan atau justru tersungkur pada dosa-dosa. Padahal aku tahu, umurku boleh bertambah namun usiaku sesungguhnya justru berkurang. Kakiku terus melangkah semakin dekat menuju keabadian. Di sisa usiaku aku terus bermunajat kepada-Nya semoga selalu diberkahi usia untuk hijrah menjadi pribadi yang berakhlak mulia, bermanfaat bagi kekuarga dan sesama serta lebih gigih dalam memperjuangkan berkibarnya panji agama.
Syukur Alhamdulillah atas karunia-Mu, Tuhan...
Labuan Bajo, 19 Mei 2016

Saturday, May 7, 2016

Pantai Pede riwayatmu kini

Semilir angin berhembus. Bergerak manja dari arah barat, membasuh permukaan air laut lalu terbang mengelus wajah. Sebentar saja membelai rambut ia lalu menghilang menyelinap di sela2 daun bidara yang pohonnya tumbuh pongah di pantai sebab seingatku dulu, ya dulu sekali, di Pantai Pede ini juga banyak di tumbuhi pohon kelapa dengan rimbunan buah yang menjuntai. Namun kini pohon kelapa tak lagi terlihat sama sekali. Yang tersisa hanya pohon bidara saja.
Air laut cukup tenang hingga riaknya tak berdebur. Ikan -ikan kecil leluasa bermain di bibir pantai. Tengah asyik berkejaran satu dengan yang lain. Beberapa perahu kecil nelayan nampak tengah tertambat. Istirahat sejenak mengikuti tuannya yang butuh waktu memulihkan tenaga setelah sekian hari terus melaut. Begitulah pemandangan indah pagi ini di pantai Pede yang sayang untuk dilepaskan.
***
Pesona Pantai Pede tak pernah lekang oleh waktu. Berjuta cerita lahir dari rahimnya. Tempat yang tepat untuk mencari inspirasi sekaligus solusi. Ia ibarat ibu kandung yang setia mendengar keluh kesah. Mendengarkan seksama setiap problema, merahasiakan galau yang tercurah,  namum tidak lupa melahirkan jalan keluar yang bijak.
Ia juga berperan sebagai rumah tempat kita pulang. Tempat yang cocok untuk melepas kepenatan, merileksasi seluruh bagian tubuh dari rutinitas.
Pantai Pede dengan setia menyambut siapa saja yang datang. Ia siap mengharmonisasikan kembali perasaan yang labil. Bersedia menetralkan kembali jiwa yang goyah.
***
Pantai Pede sangat akrab dengan masyarakat Manggarai Barat. Betapa tidak, pasca Labuan Bajo dikenal luas oleh masyarakat dunia, semua pantai yang biasa menjadi ruang publik kini tak dapat lagi diakses bebas masyarakat. Semua pantai kini telah berganti tuan. Kepemilikan tanah pesisir dan pantai menjadi milik pengusaha besar atau kerap disebut investor, dari luar daerah maupun luar negeri. Praktis Pantai Pede menjadi pilihan satu-satunya sebagai ruang publik, disamping letaknya yang tidak jauh dari pusat kota namun juga mudah dijangkau bahkan dengan hanya berjalan kaki. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengunjung tak perlu dipungut biaya untuk memasuki area pantai ini.
Karena menjadi area publik satu-satunya, maka saban hari orang-orang tak jemu mendatanginya. Pagi, siang bahkan malam hari. Hari kerja lebih-lebih hari libur. Sendiri, dengan pasangan, bersama keluarga bahkan teman-teman dekat.
***
Aku sendiri memiliki jadwal tetap untuk berkunjung ke Pantai Pede setiap akhir pekannya. Mengajak keluarga kecilku untuk menikmati liburan akhir pekan dengan sederhana. Saking sederhananya, terkadang kami memanfaatkan momentum liburan akhir pekan di Pantai Pede dengan hanya menggelar sarapan pagi dengan menu nasi kuning bungkus yang sengaja dibeli terlebih dahulu di warung sebelum kami ke pantai. Menu boleh biasa tapi apabila disantap sambil memandang bentang laut yang indah serta dimanjakan dengan alunan debur ombak dan diiringi angin sepoi-sepoi yang langsung merasuk ke pori-pori tentu menjadi sebuah untaian pengalaman yang sungguh sanga luar biasa.
Bila niat kita ke Pantai Pede semata-mata untuk rekreasi, maka belum sempurnalah rekreasi kita bila tidak ikut mandi dan menceburkan diri di lautnya. Berenang, menyelam ataupun sekedar berendam tentu menjadi sebuah paket wajib yang sangat sayang bila tidak dimanfaatkan. Aku menduga kandungan air lautnya mampu membuat kita betah berlama-lama dalam dekapannya. Pasirnya terbilang putih, lembut dan renyah bila diinjak langsung dengan telapak kaki.
Anak-anakku paling gembira ketika kuajak ke Pantai Pede. Bagi mereka, sensasi kepuasan bermain bebas di pasir melebihi kadar kepuasan saat menerima hadiah mainan baru. Tawa riang mereka ketika berjibaku dengan air laut dan pasir seolah-seolah memberi kesan kalau hidup haruslah selalu dinikmati. Bahwa raga dan jiwa memiliki hak istimewa untuk diperlakukan lebih santai. Tak terus menerus diberondong dengan suguhan problematika.
***
Belakangan, polemik terkait Pantai Pede menyeruak. Hal ini bermula dari rencana Pemerintah Provinsi NTT yang (katanya) sebagai pemilik tunggal dari aset berharga ini, menyetujui ijin pengelolaan Pantai Pede diberikan kepada pihak ketiga untuk membangun hotel berbintang. Rencana ini ditentang keras masyarakat. Mereka khawatir setelah Pantai Pede diprivatisasi, seluruh akses menuju Pantai Pede akan ditutup untuk khalayak. Tidak ada lagi ruang yang representatif bagi masyakat untuk berkumpul dan mengekspresikan kebahagiaannya dengan bertamasya. Tak ada lagi tempat yang strategis untuk mengaktualisasikan diri dalam bentuk atraksi dan pentas seni. Padahal hilang atau terhapusnya spot yang biasa digunakan sebagai media interaksi sosial ini sama saja menafikkan kreativitas dan menyuburkan sindrom depresi.
Anehnya, gelagat ini sepertinya sengaja diacuhkan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat. Bupati sebagai pucuk pimpinan di daerah ini tidak serius memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Bupati cenderung tidak berkutik pada titah gubernur, meskipun hati kecilnya berbisik lain. Bupati memilih berseberangan pendapat dengan masyarakat, LSM pegiat pariwisata dan aktivis lingkungan bahkan dengan pihak gereja (katolik) sekalipun.
Sebenarnya Bupati telah mencoba memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Provinsi dan kelompok masyarakat. Namun seperti sudah diprediksi dari awal bahwa pertemuan ini akan berakhir deadlock. Wajar saja sebab Pemerintah Provinsi tetap keukeuh mengijinkan pihak ketiga untuk membangun hotel berbintang dan itu sama saja mengiris hati masyarakat yang sedari awal berjuang mempertahankan Pantai Pede sebagai ruang publik.
Pemerintah Provinsi beralasan pengelolaan Pantai Pede oleh pihak ketiga untuk membangun hotel berbintang akan memberi keuntungan yang lebih kepada daerah berupa peningkatan pendapatan asli daerah melalui sewa pakai aset tanah.
Sebagai orang awam, aku berpendapat meski menggunakan logika sederhana. Pertama, Bukankah PAD yang dicapai tiap tahun akan dimanfaatkan kembali untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat? Lantas mengapa Pantai Pede yang sudah jelas-jelas memberi kebahagiaan langsung kepada masyarakat mesti dikorbankan lg? Apalah arti PAD yang tinggi sementara rakyat menderita?
Kedua, Pemerintah Provinsi memprivatisasi Pantai Pede melalui pemberian ijin pembagunan hotel berbintang oleh pihak ketiga dengan sistem sewa pakai. Katakanlah Pantai Pede milik Pemprov NTT yang sengaja disewakan. Apakah Pemkab Manggarai Barat tidak berniat sedikitpun untuk menyewa saja Pantai Pede ini untuk selanjutnya dikelola dengan baik layaknya Pantai Kuta di Bali yang bebas dikunjungi masyarakat. Aku yakin besaran sewa pakainya tentu lebih murah karena selain Pemkab Manggarai Barat adalah anak kandung Pemprov NTT, juga yang lebih penting adalah Pantai Pede sengaja disewa bukan dengan tujuan akhir untuk dikomersilkan tetapi semata-mata digunakan untuk kepentingan masyarakat. Pada titik ini aku sangat yakin kalau mayoritas masyarakat menyetujui penggunaan anggaran dari APBD untuk membiayai ikhwal ini.
***
Pantai Pede riwayatmu kini...terus berada dalam ruang yang tak pasti hingga tidak terasa engkau kian terabaikan. Letakmu ada di Kabupaten Manggarai Barat namun secara perlahan masyarakat disini terancam tak lagi dapat menikmati keelokanmu termasuk aku dan keluarga kecilku.
Pantai Pede, 13 Mei 2016