Sungguh
ini bukan pilihan apalagi dikatakan pilihan tepat. Bagaimana tidak, Aku hanya
diberi ruang untuk memilih; menerima atau sama sekali membatalkan perjalanan.
Sebuah dilema yang menyandera pikiranku.
Aku mengamati seksama jadwal
keberangkatan pesawat pada tiket yang sementara kupegang. Pukul 09.05 wita. Itu
artinya, aku hanya memiliki waktu kurang lebih 25 menit untuk tiba di Bandara
Komodo Labuan Bajo. Diukur
dari jarak rumahku ke Bandara sepertinya hampir tidak ada waktu bagiku untuk berleha-leha. Setidaknya dapat
beristirahat sejenak di Bandara sebelum terbang menggunakan pesawat udara
menuju Ende.
Kupaksa tukang ojek untuk menambah laju
kecepatan kendaraannya. Si tukang ojek tidak menjawab tapi deru sepeda motornya
berkata lain, suaranya menderu kencang
disertai asap hitam dari cerobong knalpot. Ia
bahkan nekat menerobos lampu merah yang sedang menyala menantang. Untuk saja
Polantas saat itu tidak ada yang bertugas. Sepeda motor melaju kencang, meliuk
dan nyaris menyalip semua kendaraan yang sedang melintas di depannya. Aku yang
duduk di belakang hanya mampu menahan napas dan sesekali menutup mata.
***
Untung saja pintu loket check in masih dibuka. Seorang wanita
petugas loket maskapai Garuda memberitahu kalau namaku telah berulang kali
dipanggil untuk segera masuk ke ruang tunggu. Sepertinya aku penumpang terakhir
yang melapor diri di loket keberangkatan. Aku minta maaf dan utarakan alasan
keterlambatanku padanya. Ia tak menggubris pembicaraanku. Kulihat ia kembali
berjibaku dengan tugasnya. Selepas itu, terdengar ia menelpon kawannya memberi
informasi penumpang yang ditunggu-tunggu barusan melapor diri di counter. Di ujung kalimat, aku
menyempatkan diri memintanya memberiku posisi duduk di dereta tengah dengan seat yang lebih dekat dengan jendela.
“Mbak, seat bagian tengah dekat jendela yah!”
“Maaf Pak, karena bapak terlambat check in, maka posisi duduk penumpang semuanya sudah disesuaikan,
tidak dapat diubah kembali”. Dia menimpali kata-kataku sambiil menyerahkan
selembar boarding pass. Kulirik
sekilas. “seat number: 21”. Aku menghela nafas panjang seraya berjalan
tergesa-gesa menuju ruang tunggu di lantai dua.
Tidak ada tiga menit aku berada di
ruang tunggu, sudah terdengar pengumuman yang menggema seantero ruang tunggu.
“Penumpang pesawat Garuda tujuan Kupang
dengan nomor penerbangan GA 7026 segera memasuki pesawat udara melalui pintu 1”.
Pesawat udara yang akan aku tumpangi
berjenis ATR 72-600. Pesawat propeler atau baling-baling yang sengaja didesain
khusus oleh perusahaan Perancis dan Italia yang diandalkan sebagai transportasi
udara regional untuk menjangkau daerah kepulauan dengan jarak penerbangan
singkat. Di Indonesia, pesawat ini lebih banyak beroperasi di daerah Kalimatan,
Sulawesi, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Khusus
wilayah Nusa Tenggara, salah satu rute penerbangan pesawat ini adalah Denpasar-Kupang
dan sebaliknya dimana terlebih
dahulu harus transit di Labuan Bajo dan Ende.
Sebagian besar penumpang yang ada di
ruang tunggu bergegas mengantri di pintu pemeriksaan tiket terakhir. Aku tidak
ingin terlambat untuk kedua kalinya, sehingga aku mengantri pada urutan nyaris
paling depan. Aku dengan mudah meraih posisi terdepan karena saat masuk ke
ruang tunggu. Aku
sengaja memilih duduk di kursi yang kebetulan lowong dekat pintu keberangkatan.
Belum lagi, barang yang kubawa cukup praktis sehingga memudahkan aku untuk
menyelinap di tengah antrian.
Aku hanya memanggul tas ransel dengan kapasitas pakaian yang cukup dipakai selama tiga sampai
empat hari saja. Antrian mengular, rata-rata penumpang lokal. Meski di bagian
belakang, aku melihat beberapa turis asing
juga ikut mengantri. Sebelumnya aku menduga, kalau tujuan mereka adalah Denpasar
karena hampir disaat yang bersamaan, pesawat udara tujuan pulau dewata juga
telah boarding.
Namun,
saat ini aku begitu yakin
kalau tujuan mereka sesungguhnya adalah Ende bukan Kupang. Artinya tujuan mereka sama
denganku, hanya mungkin misinya yang jauh
berbeda. Biasanya
para turis asing sehabis
menikmati seluruh pesona pariwisata di Labuan Bajo, masih menyempatkan diri
berkunjung ke Ende untuk sekedar melihat Danau Kelimutu dari dekat. Beda denganku, misi ke
Ende semata-mata untuk menunaikan tugas luar dari kantor untuk menjalin kerja
sama dengan salah satu media lokal yang cukup kesohor di daratan Flores. Pekerjaan
rampung, aku langsung balik kembali ke Labuan Bajo dan sama sekali tidak ada
dalam rencanaku untuk mengunjungi Danau yang terkenal dengan tiga warnanya yang
eksotik itu.
Setelah menunjukkan boarding pass dan selembar kartu
identitas, seluruh penumpang diperkenankan masuk ke dalam pesawat meskipun
sebelumnya harus melewati jembatan penghubung menuju apron pesawat.
Pesawat jenis ATR ini memiliki keunikan
sendiri karena pintu masuk penumpang terletak di bagian belakang. Sedangkan
pintu yang di depan dijadikan tempat menyimpan bagasi dan kargo. Di pintu
pesawat, seorang pramuguri berdiri menyambut penumpang sambil menangkupkan kedua
tangan di depan dada. Wajah cantiknya
memajang senyum termanis.
Menyapa penumpang dengan kalimat memukau. Aku membalas senyumnya dan kemudian
terus melangkah memasuki koridor pesawat. Di kiri kanan sebagian kursi sudah ditempati penumpang yang berasal dari Denpasar. Rupanya
mereka tidak diperkenankan turun saat transit di Labuan Bajo. Kuambil bording pass di saku kemeja yang
kukenakan. Kupastikan kembali nomor seatku.
Benar, nomornya 21H. Awak kabin lain yang bertugas di koridor menawarkan
bantuan.
“Maaf pak, nomor berapa?”
“21H”. Jawabku singkat sambil
memperlihatkan boarding pass yang
kupegang.
“Paling depan pak!” Ia menunjuk ke arah
depan sambil menyerongkan badan untuk memberi ruang kepadaku agar lebih leluasa
saat berjalan berpapasan dengannya.
Aku tersentak. Tak menyangka seatku berada di deretan terdepan. “Bukankah
nomor seat selalu dimulai dari nomor
1? Gumamku.
Apa boleh buat, pengaturan tempat duduk
untuk pesawat ini memang dimulai dari nomor 21. Aku tidak tahu alasan pastinya
mengapa demikian. Aku hanya tahu kalau kursi yang paling depan selalu
dilengkapi dengan pintu darurat di kiri dan kanannya. Aku mulai khawatir,
dengan cemas berharap agar seatku
bukan tepat di dekat pintu darurat.
Aku cukup lega meskipun nomor 21 berada
di deretan terdepan. Kode H menunjukkan kalau seatku lebih dekat ke lorong bukan dekat ke pintu darurat seperti
yang kukhawatirkan semula. Setelah menyimpan ranselku di dalam compartement yang terletak di atas
kepala, aku duduk dan bersiap mengenakan sabuk pengaman. Di sebelah kananku seorang turis asing laki-laki. Badannya
tegap, memiliki
cambang lebat di pipi yang menyatu langsung dengan kumis dan janggotnya. Aku sempat melihat kaki
kanannya dibalut perban putih. Basa-basi aku menyapanya. Ia membalas sapaku
dengan suara agak pelan sehingga nyaris tak terdengar dan kebetulan pula
suara mesin pesawat mulai berderu kencang.
Namun tiba-tiba, seorang pramugari
meminta turis asing di sampingku untuk pindah ke
seat deretan tengah. Pramugari mengatakan
kalau turis asing tadi menderita cedera kaki
sehingga dikhawatirkan tidak maksimal dalam
menerima tugas sebagai operator pintu darurat.
Pramugari beralasan kalau seat dekat
dengan pintu darurat sebaiknya ditempati oleh penumpang yang memiliki stamina
kuat dan sehat baik jasmani maupun rohani. Ternyata bukan hanya turis asing di samping kananku
yang pindah ke belakang, namun seorang
bapak berperawakan oriental yang duduk di sebelah kiri lorong justru meminta sendiri agar dirinya dipindahkan
ke seat belakang yang kebetulan masih terlihat kosong. “Mengapa Bapak itu minta pindah?” batinku penuh tanda
tanya.
Pramugari menunjukku seakan tanpa
kompromi. Memintaku untuk menjadi operator pintu darurat. Perasaanku serba
salah. Menerimanya tentu membuatku tidak tenang. Sebaliknya apabila menolaknya
dimana aku harus menyimpan perasaan malu. Aku sadar, selain aku, seluruh
penumpang yang duduk dari
deretan depan hingga tengah adalah perempuan. Dari gestur tubuhnya kubaca, mereka menggodaku untuk menerima tugas maha berat
ini. Aku semakin tak ada pilihan saat pramugari mengkonfirmasi kembali
kesediaanku. Dia menikmati kegamanganku.
“Bagaimana pak, bisa?”. Pramugari
bernama Vitanne
yang kutahu dari tagname di
seragamnya bertanya basa basi.
Aku mengangguk perlahan. Ia mengerti bahasa
tubuhku dan dalam waktu singkat memberi kursus singkat kepadaku cara penggunaan
pintu darurat. Di akhir kalimat ia meyakinkanku agar pintu darurat hanya dapat
dibuka apabila pesawat dalam keadaan bahaya. Kembali aku mengangguk. Namun
sungguh aku tak paham secara detail penjelasannya. Aku tiba-tiba merasakan ada
semacam beban berat yang sengaja di taruh pundakku. Kali ini tak ada pilihan
lain, aku hanya memasrahkan perjalanan pada Tuhan.
***
Pesawat mulai bergerak, menyesuaikan
haluan untuk lepas landas. Dua crew cabin
melaksanakan tugasnya. Seorang pramugari bertugas menyampaikan petunjuk dan
tindakan keselamatan kepada penumpang. Sementara pramugari Vitanne menyelaraskan dengan
gerakan khusus seperti memperagakan dimana letak pintu darurat dan toilet, cara
menggunakan sabuk pengaman dan jaket keselamatan. Aku yakin sebagian besar
penumpang tidak tertarik memperhatikan ritual ini. Beda denganku. Sejak
menyandang status sebagai operator pintu darurat, aku justeru menyimak penjelasan sekaligus
gerakan secara cermat. Memastikan tidak ada informasi yang terlewatkan. Aku
tahu kalau kursus singkat ini tidak berarti apa-apa kalau tidak diikuti dengan
praktek cara membuka pintu darurat. Bagaimana kalau pintu darurat tidak
berfungsi dengan baik?
Pesawat tepat berada di ujung landasan
bersiap lepas landas.
Pasca tinggal landas, tiba-tiba perasaanku
membuncah. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku tidak tenang, selalu dihantui
bayangan pesawat ini mengalami gangguan selama penerbangan. Kucoba menepis
halusinasi. Namun semakin kumencoba
menghilangkan bayangan itu, justeru semakin kuat mempengaruhi keseimbangan
otakku. Semula aku membayangkan pesawat mengalami gangguan teknis dan kerusakan
mesin lantas mendarat darurat di daratan ataupun permukaan air. Di tengah
suasana panik dan histeris demikian, orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya
sendiri. Mengevakuasi diri sendiri untuk segera keluar pesawat melalui pintu
darurat. Penumpang berharap pintu darurat dapat segera dibuka. Namun pada titik
harapan mereka meninggi, aku ternyata tidak mampu membuka pintu darurat dengan
baik. Entah karena kebodohanku, atau karena memang lama pintu darurat tidak pernah
digunakan, pintu darurat menjadi rusak dan sulit untuk dibuka. Semua penumpang
terperangkap di dalam pesawat. Mereka hanya bisa teriak, menangis dan histeris.
Doa serentak menggelayut di awan. Dalam hitungan detik burung besi meledak,
menyisakan puing-puing besi dan onggokan daging serta abu tulang-belulang
manusia. Nyawa hanya dibatasi waktu yang singkat. Semua orang pasti
menyalahkanku. Tidak bisa tidak.
Pikiranku semakin kacau. Lama-kelamaan,
phobia yang kurasakan tidak hanya saat pesawat mendarat darurat namun mulai
bergeser ke hal lain. Benakku disandera serius oleh pikiran yang lebih suram,
pesawat jatuh dan menghujam bumi. Aku membayangkan pesawat tersambar petir, tabrakan
sesama pesawat, dihantam badai cumulonimbus,
di bajak bahkan ditembak teroris.
Dalam hitungan normal penerbangan
Labuan Bajo-Ende menghabiskan waktu kurang dari satu jam. Namun, aku justeru merasakan
penerbangan ini bagitu sangat
lama. Biasanya aku selalu menikmati penerbangan ke manapun. Menemukan kebahagiaan
saat berada di angkasa. Merasakan keindahan bentangan awan yang berbaris rapi
serta gugusan pemandangan alam di bawah dari
udara. Saat ini, situasinya berbeda seratus delapan puluh derajat. Aku sungguh
sangat menderita selama dalam pesawat. Nafasku berhembus tidak teratur. Aku
sangat was-was. Turbulensi sedikit saja membuatku langsung panik. Suhu ruang
kabin yang ber-AC tidak mampu membendung keringatku yang keluar lewat
pori-pori. Bajuku setengah basah. Telapak tangan dan kakiku berair. Pramugari
Vitanne yang duduk di balik pintu kokpit tidak jauh dariku tidak
menangkap gelagatku. Ia asyik saja membagi senyum kepada penumpang lainnya.
“Dasar!” gumamku entah kutujukan kepada
siapa. Aku menyesal mengapa aku menerima permintaan pramugari Vitanne tadi. Padahal aku sudah tahu
kalau aku sangat tidak bisa duduk di dekat pintu darurat. Aku phobia dan trauma
dengan kondisi seperti itu. Phobia dan trauma merasuki kehidupanku sejak aku
masih kecil. Penyebabnya juga sepele namun membekas abadi di otakku. Saat itu
aku menonton film barat yang menceritakan kecelakaan pesawat dimana seluruh
penumpangnya termasuk pilot dan awak kabinnya tewas mengenaskan. Penyebabnya
bukan karena penumpang terhempas dan terbentur tetapi karena terbakar.
Penumpang terkepung api yang bersumber dari percikan yang menyambar bahan bakar
pesawat yang tertumpah kala pendaratan darurat. Sebenarnya waktu untuk
menyelamatkan diri dengan cara keluar dari pesawat cukup banyak namun karena
akses seluruh pintu darurat tiba-tiba rusak, terus terkunci dan tidak bisa
dibuka secara paksa sekalipun. Penumpang meregang nyawa di tengah usaha membuka
pintu darurat. Dan perasaan itu, masih bersemayam
di pikiranku hingga kini.
Perasaanku terus berkecamuk meskipun
pramugari telah menginformasikan dalam waktu beberapa menit lagi pesawat akan
mendarat di Bandara Aroeboesman Ende.
Penumpang yang sempat tertidur nampak
sudah bugar kembali. Tidak seperti diriku yang masih dirundung masalah. Aku
masih menganggap tugasku belum selesai sehingga rasa gugupku belum juga
berangsur hilang. Aku tiba-tiba teringat akan penelitian Ben Sherwood, Presiden
ABC News yang menyimpulkan bahwa delapan puluh persen kecelakaan pesawat udara
terjadi pada 11 menit yaitu 3 menit setelah tinggal landas dan 8 menit sebelum landing. Pikiranku kembali tertuju pada
insiden kecelakaan pesawat Lion Air saat melakukan pendaratan di Bandara Ngurah
Rai Denpasar beberapa waktu yang lalu. Pilot salah mengambil keputusan, pesawat
yang dikemudikannya tidak mendarat tepat di landasan tetapi jatuh di laut beberapa
meter sebelum mencapai ujung landasan.
Setengah badan pesawat tenggelam ke dasar laut namun insiden ini tidak
menimbulkan korban jiwa. Seluruh penumpang dinyatakan selamat dan dapat
dievakuasi keluar karena pintu darurat pesawat dapat berfungsi dengan baik.
Aku pun teringat perkataan seorang
pilot helicopter yang duduk disampingku pada penerbangan beberapa waktu yang
lalu.
“Ada dua bandara di Indonesia yang
memiliki sensasi paling menantang dan menegangkan dalam mendaratkan pesawat dan
salah satunya di bandara Ende
ini”.
Pilot itu melanjutkan pembicaraannya.
“Untuk itu, tidak semua pilot mampu
melakukannya”. Aku mengangguk dan tidak berusaha mengetahui alasannya lebih
jauh. Aku hanya berprasangka apa yang dikatakannya betul sekaligus berharap
pilot yang mengemudikan pesawat ini mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Aku
akui Bandara Ende memang menegangkan. Sebelum roda pesawat mencium bibir
landasan, pesawat dipaksa bermanuver melewati sebuah gunung yang berdiri pongah
di ujung landasan. Bila diperhatikan, jarak roda pesawat dengan puncak gunung
ketika melakukan ancang-ancang pendaratan tidak lebih dari lima meter dan
menurutku itu sangat berbahaya.
***
Pesawat mendarat dengan mulus. Bergerak
lambat menuju apron lalu berhenti dengan sempurna. Sabuk pengaman dilepaskan.
Penumpang mulai berdiri dan menjangkau barang yang sengaja ditaruh di compartement
di atas kepala. Penumpang tujuan Ende satu persatu turun meninggalkan pesawat.
Aku masih menengadahkan kedua tangan ke atas seraya bersyukur Tuhan telah
melindungi perjalananku.
Labuan Bajo, 24 Juni 2014
(saat sulit tidur di kamar)