Wednesday, September 16, 2015

Super Rais

Memiliki seorang anak hyper aktif apalagi berjenis kelamin laki-laki menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dalam mengasuhya. Setidaknya itu yang aku rasakan kala mengikuti tumbuh kembang anak bungsuku Rais Bumi dari waktu ke waktu. Usianya kini menginjak 2,5 tahun. Bicaranya masih belum jelas meskipun dapat dipahami maksudnya, tapi gerakan tubuhnya terlalu lincah untuk anak seusia itu. Bayangkan, ia sudah bisa memanjat teralis jendela, pagar rumah dan pohon kersen yang tumbuh tidak terlalu tinggi di halaman rumah. Bukan itu saja, ia sudah mampu melompat turun dari atas ranjang, jumpalitan dari atas sofa. Ia bahkan sering kularang melakukan roll depan di atas kasur. Aku tidak tahu ia meniru seluruh adegan ini darimana? Padahal setiap kali menonton TV aku selalu memilihkan tayangan khusus anak-anak kepadanya terutama film kartun yang lebih banyak memasukkan konten positif pada daya nalar anak. Tayangan yang menyuguhkan gambar dan suara yang memacu syaraf motorik bergerak serta melatih fungsi syaraf otak anak berpikir. 
Anak hyper aktif tidak identik dengan nakal. Anak hyper aktif memiliki rasa ingin tahu yang lebih pada sesuatu. Ia sulit diam dan terus bergerak mencoba segala hal dengan rasa penasaran yang tinggi. 
Begitupun dengan anakku Rais Bumi, hampir setiap pekerjaan rumah yang aku lakukan ia selalu datang membantu meskipun sebenarnya ia hanya datang mengganggu. Suatu ketika aku sibuk memperbaiki bale-bale yang rusak dan dibiarkan begitu saja disamping rumah, ia datang dan mengambil gergaji kemudian menggergaji bilah bambu yang ada. Melihat aku memukul paku-paku di kayu, ia juga terlihat mengambil batu kemudian memaku paku ke tanah. Saat aku memperbaiki sepeda Lunar-anak sulungku, ia tidak mau kalah mengambil obeng kemudian menyentuhkannya pada sekrup-sekrup yang ada. Saat aku mengganti baterai jam dinding yang sudah mati, tiba-tiba saja ia membuka mainan robotnya dan mengambil baterainya dan menyerahkannya kepadaku. Saat aku sedang sibuk menatap layar monitor laptopku, ia dengan entengnya menggerakkan mouse dan memencet keyboard dengan sepuluh jari mungilnya. Kalau sudah demikian, akulah yang mengalah, menghentikan segala aktivitasku hanya ingin memberi kesempatan kepadanya. Mungkin ia berpikir, kalau aku sebaiknya istirahat saja dahulu dan biarkan ia yang seolah-olah menyelesaikannya. Mendapat angin segar geraknya semakin lincah, mencoba memasang sesuatu, melepasnya kembali bahkan membongkar barang yang ada didepannya hingga tak lagi berbentuk semula. Remot tv yang katanya diperbaiki justru tombol karetnya rontok, lampunya copot dan baterainya terhambur keluar. Korban malprakteknya berlanjut pada HP ibunya. Dengan alasan mau melihat gambar fotonya, ia kembali beraksi dengan mengutak-atik program yang terinstal di dalamnya. Sebagian file penting hilang, entah terhapus atau pindah ke folder lainnya.
Setiap hari, ada saja tingkahnya di luar dugaan. Ia kini mahir naik turun dari sepeda motor yang terparkir.Bila sudah di atas sepeda motor, ia bergaya bak seorang pembalap liar. Tiarap di sadel dan kedua tangannya seolah-olah menggeber gas. Suara knalpot motor berasal dari kedua bibir yang tertutup rapat namun dipaksa terbuka perlahan akibat kencangnya udara yang berhembus. Beruntung setiap aksi nekatnya belum sampai membuatnya cedera fatal. Meskipun demikian, lecet sedikit, tergores, terjatuh bahkan luka kecil menjadi tantangan sendiri buatnya. Rais Bumi hanya seorang anak yang lincah dan diselimuti rasa penasaran yang tinggi pada segala hal. Teruslah tumbuh Sang Pemimpin Masa Depan !

Tuesday, June 30, 2015

Lelaki dan Pintu Darurat

Sungguh ini bukan pilihan apalagi dikatakan pilihan tepat. Bagaimana tidak, Aku hanya diberi ruang untuk memilih; menerima atau sama sekali membatalkan perjalanan. Sebuah dilema yang menyandera pikiranku.

Aku mengamati seksama jadwal keberangkatan pesawat pada tiket yang sementara kupegang. Pukul 09.05 wita. Itu artinya, aku hanya memiliki waktu kurang lebih 25 menit untuk tiba di Bandara Komodo Labuan Bajo. Diukur dari jarak rumahku ke Bandara sepertinya hampir tidak ada waktu bagiku untuk berleha-leha. Setidaknya dapat beristirahat sejenak di Bandara sebelum terbang menggunakan pesawat udara menuju Ende.
Kupaksa tukang ojek untuk menambah laju kecepatan kendaraannya. Si tukang ojek tidak menjawab tapi deru sepeda motornya berkata lain, suaranya menderu kencang disertai asap hitam dari cerobong knalpot. Ia bahkan nekat menerobos lampu merah yang sedang menyala menantang. Untuk saja Polantas saat itu tidak ada yang bertugas. Sepeda motor melaju kencang, meliuk dan nyaris menyalip semua kendaraan yang sedang melintas di depannya. Aku yang duduk di belakang hanya mampu menahan napas dan sesekali menutup mata.
***
Untung saja pintu loket check in masih dibuka. Seorang wanita petugas loket maskapai Garuda memberitahu kalau namaku telah berulang kali dipanggil untuk segera masuk ke ruang tunggu. Sepertinya aku penumpang terakhir yang melapor diri di loket keberangkatan. Aku minta maaf dan utarakan alasan keterlambatanku padanya. Ia tak menggubris pembicaraanku. Kulihat ia kembali berjibaku dengan tugasnya. Selepas itu, terdengar ia menelpon kawannya memberi informasi penumpang yang ditunggu-tunggu barusan melapor diri di counter. Di ujung kalimat, aku menyempatkan diri memintanya memberiku posisi duduk di dereta tengah dengan seat yang lebih dekat dengan jendela.
“Mbak, seat bagian tengah dekat jendela yah!”  
“Maaf Pak, karena bapak terlambat check in, maka posisi duduk penumpang semuanya sudah disesuaikan, tidak dapat diubah kembali”. Dia menimpali kata-kataku sambiil menyerahkan selembar boarding pass. Kulirik sekilas. “seat number: 21”. Aku menghela nafas panjang seraya berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu di lantai dua.
Tidak ada tiga menit aku berada di ruang tunggu, sudah terdengar pengumuman yang menggema seantero ruang tunggu.
“Penumpang pesawat Garuda tujuan Kupang dengan nomor penerbangan GA 7026 segera memasuki pesawat udara melalui pintu 1”.
Pesawat udara yang akan aku tumpangi berjenis ATR 72-600. Pesawat propeler atau baling-baling yang sengaja didesain khusus oleh perusahaan Perancis dan Italia yang diandalkan sebagai transportasi udara regional untuk menjangkau daerah kepulauan dengan jarak penerbangan singkat. Di Indonesia, pesawat ini lebih banyak beroperasi di daerah Kalimatan, Sulawesi, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Khusus wilayah Nusa Tenggara, salah satu rute penerbangan pesawat ini adalah Denpasar-Kupang dan sebaliknya dimana terlebih dahulu harus transit di Labuan Bajo dan Ende.
Sebagian besar penumpang yang ada di ruang tunggu bergegas mengantri di pintu pemeriksaan tiket terakhir. Aku tidak ingin terlambat untuk kedua kalinya, sehingga aku mengantri pada urutan nyaris paling depan. Aku dengan mudah meraih posisi terdepan karena saat masuk ke ruang tunggu. Aku sengaja memilih duduk di kursi yang kebetulan lowong dekat pintu keberangkatan. Belum lagi, barang yang kubawa cukup praktis sehingga memudahkan aku untuk menyelinap di tengah antrian. Aku hanya memanggul tas ransel dengan kapasitas pakaian yang cukup dipakai selama tiga sampai empat hari saja. Antrian mengular, rata-rata penumpang lokal. Meski di bagian belakang, aku melihat beberapa turis asing juga ikut mengantri. Sebelumnya aku menduga, kalau tujuan mereka adalah Denpasar karena hampir disaat yang bersamaan, pesawat udara tujuan pulau dewata juga telah boarding. Namun, saat ini aku begitu yakin kalau tujuan mereka sesungguhnya adalah Ende bukan Kupang. Artinya tujuan mereka sama denganku, hanya mungkin misinya yang jauh berbeda. Biasanya para turis asing sehabis menikmati seluruh pesona pariwisata di Labuan Bajo, masih menyempatkan diri berkunjung ke Ende untuk sekedar melihat Danau Kelimutu dari dekat. Beda denganku, misi ke Ende semata-mata untuk menunaikan  tugas luar dari kantor untuk menjalin kerja sama dengan salah satu media lokal yang cukup kesohor di daratan Flores. Pekerjaan rampung, aku langsung balik kembali ke Labuan Bajo dan sama sekali tidak ada dalam rencanaku untuk mengunjungi Danau yang terkenal dengan tiga warnanya yang eksotik itu.   
Setelah menunjukkan boarding pass dan selembar kartu identitas, seluruh penumpang diperkenankan masuk ke dalam pesawat meskipun sebelumnya harus melewati jembatan penghubung menuju apron pesawat.

Pesawat jenis ATR ini memiliki keunikan sendiri karena pintu masuk penumpang terletak di bagian belakang. Sedangkan pintu yang di depan dijadikan tempat menyimpan bagasi dan kargo. Di pintu pesawat, seorang pramuguri berdiri menyambut penumpang sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Wajah cantiknya memajang senyum termanis. Menyapa penumpang dengan kalimat memukau. Aku membalas senyumnya dan kemudian terus melangkah memasuki koridor pesawat. Di kiri kanan sebagian kursi sudah ditempati penumpang yang berasal dari Denpasar. Rupanya mereka tidak diperkenankan turun saat transit di Labuan Bajo. Kuambil bording pass di saku kemeja yang kukenakan. Kupastikan kembali nomor seatku. Benar, nomornya 21H. Awak kabin lain yang bertugas di koridor menawarkan bantuan.
“Maaf pak, nomor berapa?”
“21H”. Jawabku singkat sambil memperlihatkan boarding pass yang kupegang.   
“Paling depan pak!” Ia menunjuk ke arah depan sambil menyerongkan badan untuk memberi ruang kepadaku agar lebih leluasa saat berjalan berpapasan dengannya.
Aku tersentak. Tak menyangka seatku berada di deretan terdepan. “Bukankah nomor seat selalu dimulai dari nomor 1? Gumamku.
Apa boleh buat, pengaturan tempat duduk untuk pesawat ini memang dimulai dari nomor 21. Aku tidak tahu alasan pastinya mengapa demikian. Aku hanya tahu kalau kursi yang paling depan selalu dilengkapi dengan pintu darurat di kiri dan kanannya. Aku mulai khawatir, dengan cemas berharap agar seatku bukan tepat di dekat pintu darurat.

Aku cukup lega meskipun nomor 21 berada di deretan terdepan. Kode H menunjukkan kalau seatku lebih dekat ke lorong bukan dekat ke pintu darurat seperti yang kukhawatirkan semula. Setelah menyimpan ranselku di dalam compartement yang terletak di atas kepala, aku duduk dan bersiap mengenakan sabuk pengaman. Di sebelah kananku seorang turis asing laki-laki. Badannya tegap, memiliki cambang lebat di pipi yang menyatu langsung dengan kumis dan janggotnya. Aku sempat melihat kaki kanannya dibalut perban putih. Basa-basi aku menyapanya. Ia membalas sapaku dengan suara agak pelan sehingga nyaris tak terdengar dan kebetulan pula suara mesin pesawat mulai berderu kencang.

Namun tiba-tiba, seorang pramugari meminta turis asing di sampingku untuk pindah ke seat deretan tengah. Pramugari mengatakan kalau turis asing tadi menderita cedera kaki sehingga dikhawatirkan tidak maksimal dalam menerima tugas sebagai operator pintu darurat. Pramugari beralasan kalau seat dekat dengan pintu darurat sebaiknya ditempati oleh penumpang yang memiliki stamina kuat dan sehat baik jasmani maupun rohani. Ternyata bukan hanya turis asing di samping kananku yang pindah ke belakang, namun seorang bapak berperawakan oriental yang duduk di sebelah kiri lorong justru meminta sendiri agar dirinya dipindahkan ke seat belakang yang kebetulan masih terlihat kosong. “Mengapa Bapak itu minta pindah?” batinku penuh tanda tanya.
Pramugari menunjukku seakan tanpa kompromi. Memintaku untuk menjadi operator pintu darurat. Perasaanku serba salah. Menerimanya tentu membuatku tidak tenang. Sebaliknya apabila menolaknya dimana aku harus menyimpan perasaan malu. Aku sadar, selain aku, seluruh penumpang yang duduk dari deretan depan hingga tengah adalah perempuan. Dari gestur tubuhnya kubaca, mereka menggodaku untuk menerima tugas maha berat ini. Aku semakin tak ada pilihan saat pramugari mengkonfirmasi kembali kesediaanku. Dia menikmati kegamanganku.
“Bagaimana pak, bisa?”. Pramugari bernama Vitanne yang kutahu dari tagname             di seragamnya bertanya basa basi.
Aku mengangguk perlahan. Ia mengerti bahasa tubuhku dan dalam waktu singkat memberi kursus singkat kepadaku cara penggunaan pintu darurat. Di akhir kalimat ia meyakinkanku agar pintu darurat hanya dapat dibuka apabila pesawat dalam keadaan bahaya. Kembali aku mengangguk. Namun sungguh aku tak paham secara detail penjelasannya. Aku tiba-tiba merasakan ada semacam beban berat yang sengaja di taruh pundakku. Kali ini tak ada pilihan lain, aku hanya memasrahkan perjalanan pada Tuhan. 

***
Pesawat mulai bergerak, menyesuaikan haluan untuk lepas landas. Dua crew cabin melaksanakan tugasnya. Seorang pramugari bertugas menyampaikan petunjuk dan tindakan keselamatan kepada penumpang. Sementara pramugari Vitanne menyelaraskan dengan gerakan khusus seperti memperagakan dimana letak pintu darurat dan toilet, cara menggunakan sabuk pengaman dan jaket keselamatan. Aku yakin sebagian besar penumpang tidak tertarik memperhatikan ritual ini. Beda denganku. Sejak menyandang status sebagai operator pintu darurat, aku justeru menyimak penjelasan sekaligus gerakan secara cermat. Memastikan tidak ada informasi yang terlewatkan. Aku tahu kalau kursus singkat ini tidak berarti apa-apa kalau tidak diikuti dengan praktek cara membuka pintu darurat. Bagaimana kalau pintu darurat tidak berfungsi dengan baik?
Pesawat tepat berada di ujung landasan bersiap lepas landas.
Pasca tinggal landas, tiba-tiba perasaanku membuncah. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku tidak tenang, selalu dihantui bayangan pesawat ini mengalami gangguan selama penerbangan. Kucoba menepis halusinasi. Namun semakin kumencoba menghilangkan bayangan itu, justeru semakin kuat mempengaruhi keseimbangan otakku. Semula aku membayangkan pesawat mengalami gangguan teknis dan kerusakan mesin lantas mendarat darurat di daratan ataupun permukaan air. Di tengah suasana panik dan histeris demikian, orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya sendiri. Mengevakuasi diri sendiri untuk segera keluar pesawat melalui pintu darurat. Penumpang berharap pintu darurat dapat segera dibuka. Namun pada titik harapan mereka meninggi, aku ternyata tidak mampu membuka pintu darurat dengan baik. Entah karena kebodohanku, atau karena memang lama pintu darurat tidak pernah digunakan, pintu darurat menjadi rusak dan sulit untuk dibuka. Semua penumpang terperangkap di dalam pesawat. Mereka hanya bisa teriak, menangis dan histeris. Doa serentak menggelayut di awan. Dalam hitungan detik burung besi meledak, menyisakan puing-puing besi dan onggokan daging serta abu tulang-belulang manusia. Nyawa hanya dibatasi waktu yang singkat. Semua orang pasti menyalahkanku. Tidak bisa tidak.
Pikiranku semakin kacau. Lama-kelamaan, phobia yang kurasakan tidak hanya saat pesawat mendarat darurat namun mulai bergeser ke hal lain. Benakku disandera serius oleh pikiran yang lebih suram, pesawat jatuh dan menghujam bumi. Aku membayangkan pesawat tersambar petir, tabrakan sesama pesawat, dihantam badai cumulonimbus, di bajak bahkan ditembak teroris.

Dalam hitungan normal penerbangan Labuan Bajo-Ende menghabiskan waktu kurang dari satu jam. Namun, aku justeru merasakan penerbangan ini bagitu sangat lama. Biasanya aku selalu menikmati penerbangan ke manapun. Menemukan kebahagiaan saat berada di angkasa. Merasakan keindahan bentangan awan yang berbaris rapi serta gugusan pemandangan alam di bawah dari udara. Saat ini, situasinya berbeda seratus delapan puluh derajat. Aku sungguh sangat menderita selama dalam pesawat. Nafasku berhembus tidak teratur. Aku sangat was-was. Turbulensi sedikit saja membuatku langsung panik. Suhu ruang kabin yang ber-AC tidak mampu membendung keringatku yang keluar lewat pori-pori. Bajuku setengah basah. Telapak tangan dan kakiku berair. Pramugari Vitanne yang duduk di balik pintu kokpit tidak jauh dariku tidak menangkap gelagatku. Ia asyik saja membagi senyum kepada penumpang lainnya.
“Dasar!” gumamku entah kutujukan kepada siapa. Aku menyesal mengapa aku menerima permintaan pramugari Vitanne tadi. Padahal aku sudah tahu kalau aku sangat tidak bisa duduk di dekat pintu darurat. Aku phobia dan trauma dengan kondisi seperti itu. Phobia dan trauma merasuki kehidupanku sejak aku masih kecil. Penyebabnya juga sepele namun membekas abadi di otakku. Saat itu aku menonton film barat yang menceritakan kecelakaan pesawat dimana seluruh penumpangnya termasuk pilot dan awak kabinnya tewas mengenaskan. Penyebabnya bukan karena penumpang terhempas dan terbentur tetapi karena terbakar. Penumpang terkepung api yang bersumber dari percikan yang menyambar bahan bakar pesawat yang tertumpah kala pendaratan darurat. Sebenarnya waktu untuk menyelamatkan diri dengan cara keluar dari pesawat cukup banyak namun karena akses seluruh pintu darurat tiba-tiba rusak, terus terkunci dan tidak bisa dibuka secara paksa sekalipun. Penumpang meregang nyawa di tengah usaha membuka pintu darurat. Dan perasaan itu, masih bersemayam di pikiranku hingga kini.

Perasaanku terus berkecamuk meskipun pramugari telah menginformasikan dalam waktu beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Aroeboesman Ende. 
Penumpang yang sempat tertidur nampak sudah bugar kembali. Tidak seperti diriku yang masih dirundung masalah. Aku masih menganggap tugasku belum selesai sehingga rasa gugupku belum juga berangsur hilang. Aku tiba-tiba teringat akan penelitian Ben Sherwood, Presiden ABC News yang menyimpulkan bahwa delapan puluh persen kecelakaan pesawat udara terjadi pada 11 menit yaitu 3 menit setelah tinggal landas dan 8 menit sebelum landing. Pikiranku kembali tertuju pada insiden kecelakaan pesawat Lion Air saat melakukan pendaratan di Bandara Ngurah Rai Denpasar beberapa waktu yang lalu. Pilot salah mengambil keputusan, pesawat yang dikemudikannya tidak mendarat tepat di landasan tetapi jatuh di laut beberapa meter sebelum mencapai ujung landasan. Setengah badan pesawat tenggelam ke dasar laut namun insiden ini tidak menimbulkan korban jiwa. Seluruh penumpang dinyatakan selamat dan dapat dievakuasi keluar karena pintu darurat pesawat dapat berfungsi dengan baik.
Aku pun teringat perkataan seorang pilot helicopter yang duduk disampingku pada penerbangan beberapa waktu yang lalu.
“Ada dua bandara di Indonesia yang memiliki sensasi paling menantang dan menegangkan dalam mendaratkan pesawat dan salah satunya di bandara Ende ini”.
Pilot itu melanjutkan pembicaraannya.
“Untuk itu, tidak semua pilot mampu melakukannya”. Aku mengangguk dan tidak berusaha mengetahui alasannya lebih jauh. Aku hanya berprasangka apa yang dikatakannya betul sekaligus berharap pilot yang mengemudikan pesawat ini mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Aku akui Bandara Ende memang menegangkan. Sebelum roda pesawat mencium bibir landasan, pesawat dipaksa bermanuver melewati sebuah gunung yang berdiri pongah di ujung landasan. Bila diperhatikan, jarak roda pesawat dengan puncak gunung ketika melakukan ancang-ancang pendaratan tidak lebih dari lima meter dan menurutku itu sangat berbahaya.
***
Pesawat mendarat dengan mulus. Bergerak lambat menuju apron lalu berhenti dengan sempurna. Sabuk pengaman dilepaskan. Penumpang mulai berdiri dan menjangkau barang yang sengaja ditaruh di compartement di atas kepala. Penumpang tujuan Ende satu persatu turun meninggalkan pesawat. Aku masih menengadahkan kedua tangan ke atas seraya bersyukur Tuhan telah melindungi perjalananku.   

Labuan Bajo, 24 Juni 2014 (saat sulit tidur di kamar)

   





Wednesday, June 17, 2015

deja vu

Deja vu, frasa ini sudah tidak begitu asing lagi di telinga kita. Mungkin setiap orang pernah mengalaminya. Deja vu adalah suatu perasaan aneh bahwa seseorang pernah merasa berada di suatu tempat dan melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. Perasaan ini yang kurasakan ketika mengunjungi Ende beberapa waktu yang lalu.

***

Selama empat hari aku berada di Ende, telah tiga kali aku menyusuri jalan ini, Jalan Ahmad Yani Ende. Pertama, ketika menumpang mobil temanku ke tempat ia mentraktirku makan malam di salah satu rumah makan di kawasan Pantai Ria. Kedua, saat mengunjungi situs pengasingan Bung Karno yang terletak di Jalan Perwira. Ketiga, saat aku berjalan kaki sendiri selepas sholat shubuh. Bermaksud menghirup udara pagi segar dengan menapaki ruas jalan ke arah kanan hotel tempat ku menginap. "Sekalian jogging pagi". pikirku.

Saat itu, mentari masih malu-malu keluar. Jalanan lengang. Aktivitas warga kota Ende belum terlalu bergeliat. Hanya sesekali kendaraan dengan muatan beragam sayuran dan buah-buahan melintas. Sepertinya dari dan menuju pasar. Ada juga tukang ojek yang berspekulasi mencari penumpang di pagi buta. Bahkan sempat menawarkan jasanya padaku. Ia memperlambat laju sepeda motornya di sisiku. Aku menggeleng. Dia paham maksudku lantas mengeber sepeda motornya agak kencang dan sesaat kemudian menghilang di tikungan. Aku terus berjalan sambil sebentar-sebentar merentangkan kedua tanganku ke samping. Menghirup oksigen yang masih segar. Kini nafasku berhembus kencang tandanya aku mulai lelah. Kedua betisku memberi sinyal agar aku segera menghentikan langkah. Aku berhenti persis di depan Masjid yang nampak catnya mulai mengelupas. Disorot temaram lampu yang dipasang di tepi jalan, aku masih bisa melihat warna dindingnya yang agak kusam. Kombinasi kuning gading dan cokelat. 

***

Tiba-tiba saja aku teringat pengalamanku belasan tahun yang lalu saat aku mudik lebaran Idul Fitri. Aku masih ingat, saat itu aku baru saja menyelesaikan ujian akhir semester genap tahun pertamaku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Makassar. Karena jadwal kapal menuju kampungku-Labuan Bajo- berbenturan dengan jadwal ujian akhir yang masih tersisa, aku terpaksa memilih kapal tujuan Maumere. Meskipun aku tahu resikonya cukup berat, aku masih harus menempuh perjalanan darat selama dua malam satu hari menuju Labuan Bajo dengan kondisi tetap puasa termasuk resiko harus merogoh kocek lebih banyak karena adanya tambahan biaya sewa bus. Dengan menumpangi kapal Pelni "Tatamailau" aku tiba di Maumere pukul sepuluh malam. Dalam tempo yang singkat akupun telah berada di atas Bus AKAP DAMRI yang akan membawaku ke Labuan Bajo. Perjalanan Maumere-Labuan Bajo sama halnya dengan mengukur panjang jalan Pulau Flores. Maklum jarak kedua kota tersebut berjauhan. Itupun harus melewati kota-kota lain sebelumnya seperti Ende, Bajawa dan Ruteng. 

Bus tiba di Ende menjelang shubuh. Semua penumpang diistirahatkan sejenak di kantor cabang DAMRI yang letaknya bersebelahan dengan masjid. Bus tersebut akan melanjutkan perjalanannya kembali pukul tujuh pagi. Aku lebih memilih langsung ke masjid untuk menunaikan sholat shubuh. Setelah sholat, aku istirahat sejenak di teras masjid sambil meregangkan otot-ototku yang masih kaku sejak semalam. 

***

Aku duduk di deker depan masjid sambil memperhatikan setiap sudut masjid tersebut. "Inikah masjid yang belasan tahun lalu yang pernah kusambangi sholat shubuh sekaligus kujadikan tempat menghilangkan penat". Pikiranku bergerak liar, mencoba mengumpulkan keping memori yang perlahan mulai hilang di otak seiring waktu yang terus bergerak maju. Mencoba fokus pada kejadian beberapa tahun lampau. Kutemukan satu penggal cerita namun aku masih belum yakin kebenarannya. Fakta-fakta lapangan agak kabur, alibi cukup kuat. Armada Bus DAMRI sudah tidak nampak di sebelah jalan, berganti menjadi gedung pemerintahan. "Kalaupun bukan di masjid ini, lantas dimanakah keberadaan masjid yang kumaksud?" Pertanyaanku menggantung tak menemukan jawaban pasti. Aku berjalan gontai kembali ke hotel. Kini matahari pagi mulai menyelinap di ketiak Gunung Iya. 

Jawaban itupun terkuak semuanya ketika seorang penjaga hotel memberikan keterangan panjang lebar kepadaku di sela-sela sarapan pagi. "Pul bus DAMRI sekarang telah dijadikan Kantor Perhubungan oleh Pemerintah Kabupaten Ende". Aku tersentak. Ternyata yang kulihat dan kualami tadi pagi bukan sekedar deja vu. Subhanallah. Dalam batin diam-diam aku bersyukur, Tuhan masih menganugerahiku umur panjang kepadaku. 

***

Labuan Bajo, 18 Juni 2014 (Ramadhan pertama 1436 H)


Tuesday, June 16, 2015

Tukang Ojek Pribadi

Mesin sepeda motor jenis bebek sementara kupanaskan. Sesekali kuseka debu yang masih nampak di bodinya. Sepeda motor buatan jepang ini telah siap kembali menunaikan tugasnya hari ini. Tugas rutin yang dilakoninya saban hari. Mengantar dan menjemput dua orang buah hatiku yang masih bersekolah. Lunar, anak sulungku kini duduk di kelas 2 SD dan yang kedua Nilam masih duduk di kelas O besar TK. Keduanya perempuan cantik yang menggemaskan. Usia keduanya terpaut 3 tahun. 

Seperti biasanya, sehabis sarapan dan minum susu, keduanya langsung bergegas meraih sepatu sekolah untuk dikenakan. Mereka telah siap untuk bersekolah hari ini. Diciuminya tangan ibunya yang berdiri di depan pintu meminta restu. Tak lupa mereka mencium pipi si bungsu Rais yang berdiri di dekat ibunya. Dengan salam singkat mereka melangkah keluar rumah. Bersiap menjemput asa.

Nilam telah di posisinya, duduk paling depan. Mencengkram batok setir sepeda motor dengan hati-hati. Kedua kaki ditaruhnya di tengah. Lunar duduk paling belakang. Memegang erat tubuhku. Kakinya telah sampai di stang kaki bagian belakang. Tidak terasa dia sudah semakin besar. Aku masih ingat kala dia masih balita. Dia tidak pernah mau duduk di belakang. Baginya duduk di depan sama halnya dengan mengendarai sepeda motor langsung. Dia menemukan kebahagiaan ketika menekan tombol klakson semaunya, menatap cakrawala di depan dengan leluasa. Terkadang rambutnya yang terhempas ditiup angin dibiarkan menerpa wajahku. Aku tahu dia sengaja melakukan itu sebab dia ingin memberikan sinyal kepadaku bahwa rambutnya harum semerbak. 

Sepeda motor menyusuri jalan berbatu sebelum sampai di jalan besar. Lunar dan Nilam sudah hafal betul jalan ini. Rona wajah mereka biasa saja melewati jalan ini, nampak tak terlihat takut sama sekali. Meskipun demikian aku tetap meminta mereka tetap hati-hati dan semakin mempererat pegangan. Tas yang mereka sandang terlihat naik turun pertanda jalan berbatu ini harus segera dibenahi sebelum menimbulkan korban jatuh.

Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedikit di bawah rata-rata. Maklum, membonceng anak dengan posisi duduk di depan dan di belakang sama halnya dengan membonceng ibu hamil. Tanggung jawab begitu besar. Ngebut sedikit sangat beresiko. Tujuan pertama mengantar Lunar ke sekolahnya karena dia masuk sekolah jam 7 pagi. Sedangkan Nilam diantar belakangan, waktu masih cukup lama. Dia baru masuk sekolah jam 8 pagi. Itu berarti Nilam "dipaksa" ikut mengantar kakaknya terlebih dahulu. Jarak sekolah mereka sebenarnya tidak jauh. Namun karena sekolah Nilam harus memutar arah menempuh jalur lingkar luar kota sehingga jaraknya menjadi cukup jauh. Lunar bersekolah di SDN Labuan Bajo 2. Aku sengaja mendaftarkannya di sekolah itu karena waktu aku SD, aku juga pernah mengenyam bahkan menamatkan pendidikan di sekolah ini. Istilah orang sekarang like father like daughter

Melihat Lunar bersekolah di sana, aku seperti memutar kembali kenangan belasan tahun lalu yang masih terajut abadi dalam memori kepalaku. Seorang anak laki-laki dari keluarga sederhana, yang dibesarkan oleh orang tua dengan penghasilan pas-pasan. Ayahku atau kakek dari ketiga buah hatiku, Lunar, Nilam dan Rais berprofesi sebagai pelaut. Kalian pasti berpikir kalau ayahku memiliki kapal sendiri. Ah, kalian salah. Ayahku hanya bekerja sebagai nakhoda, itupun bukan di kapal tetapi perahu milik orang lain. Tanggung jawabnya maha besar membawa hasil laut si empunya perahu dari Labuan Bajo ke luar daerah. Biasanya dibawa ke Bali dan tidak jarang pula hingga ke Banyuwangi. Kami selalu berdoa semoga ayahku selalu diberi kesehatan dan keselamatan dalam mengarungi lautan luas. Di akhir doa, kami tak lupa menitipkan harapan kepada Tuhan. Berharap ayahku membawa oleh-oleh untuk kami sepulangnya berlayar berminggu-minggu.

Ibuku berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus membantu ayah mencari nafkah. Alasannya mulia, katanya ingin meringankan beban berat yang ada di pundak ayah. Ibuku membuat aneka kue untuk dijual di pasar-pasar. Sepulang sekolah, ibu terkadang menyuruhku menjual dagangan ke tetangga di sekitar rumah. Mula-mula aku malu dilihat teman-temanku namun karena kasihan melihat ibu yang sudah capek bekerja, aku menghilangkan perasaan itu. Terakhir ketika aku dewasa, aku baru sadari kalau membantu ibu berjualan kue di masa kecil memberi arti tersendiri buatku. Aku merenung mungkin ini merupakan cara lain ibuku menanamkan jiwa bisnis kepadaku, yang kelak dapat kumanfaatkan.


***

Lunar telah tiba di sekolah. Berjalan gontai memasuki halaman sekolah menuju kelasnya. Teman yang kebetulan duluan tiba menyambutnya dengan senyuman. Diapun membalasnya, bercengkrama sebentar, tertawa dan kemudian larut dalam gelak tawa yang tak berirama. Aku yang melihat tingkah mereka dari jauh mahfum. Ada senyum terbersit tiba-tiba.
Sepeda motor melaju kembali menuju arah sekolah Nilam. Masih dengan kecepatan sedang meski daya angkutnya berkurang.


***

Memang tidak bijak kiranya bila menghitung lamanya aku mengantar-jemput mereka bersekolah. Seolah terkesan aku terpaksa melakukannya. Aku hanya ingin membagi cerita. Disamping mutlak kewajiban orang tua untuk menyongsong masa depan anaknya agar lebih cerah, menjadi pandai dan memiliki pengetahuan lebih, mengantar dan menjemput anak sekolah merupakan kebahagian tersendiri. Paling tidak itu yang kurasakan. 

Coba bayangkan, tanpa alarm tetap yang mengingatkanku, aku sudah hapal jadwal pulang sekolah mereka berdua. Aku berupaya aku selalu menjemput mereka tepat waktu. Aku tidak mau mereka terlalu lama menungguku menjemputnya. Kalaupun di saat bersamaan aku masih sibuk di kantor, mereka selalu setia menungguku di pintu gerbang sekolah. Kalau sudah begitu, pikiranku di kantor pasti kacau dan tidak konsentrasi dalam bekerja. Sebab aku tidak ingin anakku pulang ke rumah berjalan kaki di tengah terik matahari dengan perut lapar dan tenggorokan yang kering. Cukup aku saja yang merasakan susahnya bersekolah di masa kecil. Seperti anak-anak lainnya kala itu, aku tidak pernah diantar-jemput orang tuaku bersekolah. Sehingga anak-anak yang tidak tahan dengan kondisi getir semacam ini dipastikan akan berhenti bersekolah. Orang tua yang masih menganggap sekolah tidak penting tentu maklum saja bahkan mereka berpikir ini peluang bagus buat anak untuk membantu orang tua bekerja di laut sebagai nelayan cilik.

Jujur mengantar dan menjemput anak memang terasa capek tetapi terus terang aku sangat menikmatinya. Aku berpikir dengan begitu aku dapat melihat tumbuh kembang anak secara langsung. Memantau mental dan sikap anak dengan lebih intens. Sangat berbeda mental dan kepercayaan diri anak yang diantar jemput orang tuanya dengan anak-anak yang pergi sekolah hanya diantar sampai di depan pintu rumah dan sama sekali tidak pernah dijemput saat pulang sekolah. Kalaupun dijemput biasanya dilakukan oleh tukang ojek langganan.

Mumpung raga ini masih kuat melakukannya, aku berharap semua anak-anakku; Lunar-Nilam dan Rais- dapat merasakan perhatian dan kasih sayang orang tuanya secara optimal. Paling tidak hanya dengan mengantar dan menjemput mereka sekolah. 



Labuan Bajo, 17 Juni 2015














Tuesday, June 9, 2015

View, Akik dan Tim Sukses

Segala sesuatu ada masanya. Dia datang, eksis lalu diam-diam mengendap pergi kemudian hilang dalam peredaran, menjadi asing, menjadi purba dan terlupakan. Kalaupun masanya kembali ada daur waktu yang relatif lama yang mesti dilewati. 

Sejak Komodo semakin dikenal luas oleh masyarakat banyak terutama masyarakat mancanegara, banyak turis asing merasa penasaran dan tertarik untuk datang dan berkunjung ke Labuan Bajo. Daerah yang merupakan pintu gerbang utama untuk memasuki wilayah Pulau Flores dari arah barat sekaligus merupakan ibukota dari Kabupaten Manggarai Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah yang sesungguhnya tidak hanya mengandalkan komodo sebagai satu-satunya primadona kepariwisataan tetapi masih banyak destinasi wisata lainnya yang menyimpan rahasia dan nilai eksotis yang menjanjikan. Pulau dan pantai dengan segudang daya tarik namun belum terjamah tangan jahil manusia serta seni dan budaya yang lahir dari originalitas kultur masyarakat setempat. Semuanya menawarkan keindahan dan karakteristik tersendiri. 

Dewasa ini, arus masuk wisatawan kian tinggi begitu pula rata-rata lama tinggal wisatawan di Manggarai Barat. Namun yang mencengangkan, tingginya rata-rata lama tinggal lebih dipengaruhi oleh banyaknya orang asing yang memilih tinggal dan menetap di daerah ini. Satu persatu mereka menanamkan modalnya pada beberapa jenis usaha yang identik dengan pariwisata. Mereka tidak hanya mengincar lokasi tanah yang strategis namun juga beberapa titik lokasi yang menurut orang pribumi tidak menarik karena berada di atas bukit dan gunung. Akibatnya tanah dengan kontur yang tidak biasa tersebut dijual murah kepada para bule. Orang-orang pribumi tidak tahu lokasi tanah yang berada di punggung dan bahu gunung justeru terdapat surga yang terbentang luas di bawahnya. Mereka hanya tahu bahwa untuk mencapai medan tersebut dibutuhkan tenaga yang ekstra kuat. Mereka tidak pernah membayangkan sensasi yang dirasakan ketika berada di puncaknya. Ada pemandangan indah bak lukisan natural. Dari sinilah mulai muncul kata sakti "view". 

Lama kelamaan istilah view sudah menyebar dan menjadi tema menarik di masyarakat. Masyarakat lokal mulai paham kalau tingginya harga tanah yang dijual sangat bergantung dari viewnya. Berapapun luasnya tanah yang ingin dijual namun bila tidak memenuhi syarat mutlak, yakni view maka harganya akan terjun bebas. Sudah banyak bule yang terpaksa menahan kecewa ketika diajak oleh calo dan pemilik tanah untuk melihat tanah yang rencananya akan ditransaksikan ternyata tidak memiliki view
Saking populernya istilah view sampai-sampai masyarakat awam yang tinggal di pelosok pedalaman familiar dengan kata ini. Bila orang di Labuan Bajo mengidentikkan view dengan pemandangan laut dari kejauhan, maka orang-orang yang tinggal di pedalaman yang nota bene jauh dari laut mengidentikkan dengan apa?

Di satu kesempatan kunjungan kerja Tim Sosialisasi Pemekaran Kabupaten Manggarai Barat Daya di Kecamatan Kuwus, di sela-sela diskusi menarik terkait dengan rencana penempatan lokasi ibukota kabupaten nantinya. Seorang peserta rapat yang duduk di kursi belakang terlihat mengacungkan tangan kanan sepertinya serius ingin memberi komentar. Seorang bapak setengah baya yang mengenakan kemeja lengan panjang. Dari penampilannya sepintas aku menduga dia adalah bukanlah Kepala Desa atau perangkat desa. Dugaanku tidak meleset. Setelah memperkenalkan diri sebagai salah satu warga desa yang ada di wilayah Kecamatan Kuwus, dia menyampaikan pendapatnya tentang lokasi calon ibukota yang dinilainya strategis dan cocok untuk pengembangan ibukota ke depannya. Di akhir pernyataannya kembali dia meyakinkan Tim agar ibukota Kabupaten Manggarai Barat Daya ditempatkan di Wol Desa Golo Ronggot Kecamatan Welak. 
"Saya sebagai warga biasa, menyarankan kepada Tim untuk memprioritaskan penempatan ibukota Kabupaten Manggarai Barat di Wol Golo Ronggot Kecamatan Welak". Kata-katanya mengalir nampak sudah dipersiapkan matang. Dia melanjutkan kalimat terakhir. "Bukan apa-apa, bila dibandingkan dengan dua calon ibukota lainnya, saya rasa Wol cukup luas dan terbilang view. Dia menekankan kata "view" sambil mengacungkan jempolnya. Sontak peserta rapat terkejut mendengar bahasanya yang sok keinggrisan. Raut wajah peserta yang mendegarnya bervariasi. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang tersenyum kecil, ada yang bahkan tertawa lepas sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

Aku dan Tim lainnya terperangah, tak percaya kalau istilah view telah disadur oleh bapak itu. Terlebih aku tak pernah menyangka kalau kata sakti tersebut akan keluar dari mulutnya. Aku berharap view yang dimaksudkannya adalah benar-benar pemandangan laut yang menakjubkan tetapi setahuku Kecamatan Welak bukan merupakan wilayah yang dibatasi oleh lautan. Mungkin saja pikiranku mandek, terlalu menganggap sesuatu secara kontekstual tanpa menelaah dari aspek mana dia berpikir. Aku hanya takjub sekaligus menyangsikan istilah view sudah jauh melanglang buana...


Kata view bukan lagi sesuatu yang istimewa di Labuan Bajo karena nyaris seluruh tanah yang lokasinya berada di ketinggian telah menjadi "milik" para bule. Berbagai macam modus yang digunakan untuk mendapatkan tanah tersebut. Jika Pemerintah sangat berhati-hati agar tanah dan pulau tidak menjadi milik mutlak orang asing, para bule ini tidak kehabisan akal. Ada yang hanya menyewa tanah namun tidak sedikit diantara mereka sengaja memanfaatkan orang lokal sebagai perantara transaksi jual beli atau lebih ekstrim lagi menjadi pemilik sementara tanah yang ada. Mendongkel nama tokoh masyarakat lokal sebagai pemilik tanah bayangan. Tetapi seluruh pengelolaan tanah ke depannya menjadi hak mutlah dirinya.
Kata view menjadi tidak asing lagi. Mungkin telah terbang bersama angin yang membawanya ke tempat lain.

*******

Tak berapa lama view bergeser menjadi batu akik. Aku tidak tahu persis awal mula orang-orang di Labuan Bajo mengenal batu akik. Aku menduga ini akibat dari pemberitaan yang sangat getol di media elektronik dan media on line akhir-akhir ini. Hampir setiap program acara di TV memproklamirkan batu akik. Fenomena batu akik di Labuan Bajo terbilang terlambat. Di kala daerah lain sudah jenuh mendiskusikan batu akik justeru di sini batu akik menempati trending topic pembicaraan di tengah masyarakat. Di forum formal apalagi yang terlontar di forum biasa. Tidak hanya menjadi bahan diskusi orang dewasa namun juga bagi anak muda bahkan anak-anak. Aku saja yang sepertinya kurang gaul dan tidak tidak terlalu interes dengan batu akik. Meskipun ada beberapa jenis batu akik yang sedikit banyak namanya aku ketahui. Itupun karena seringnya aku mendengar selentingan teman-teman se-kantor yang berbicara. 

Industri pengolah batu akik kelas rumahan menjamur di beberapa sudut kota. Seorang teman yang berprofesi sebagai PNS memanfaatkan waktu di luar jam kantor untuk menekuni pembuatan batu akik. Dia sengaja membeli perlengkapan sederhana dalam mengolah batu akik. Mesin pemecah dan penggosok batu akik sudah cukup. Batu yang sudah dibentuknya sesuai ukuran lalu dipoles manual dan jadilah sebuah batu yang indah dengan corak dan motif yang unik. Harganya relatif, tidak ada yang baku bergantung pada kualitas dan kelangkaan batu akik tersebut. Aku pernah iseng bertanya pada temanku itu. "Batu akik jenis apa yang menjadi ciri khas Manggarai Barat?". Dia menghentikan kerjanya sambil meletakkan sebuah alat yang dari tadi dipakainya membelah bongkahan batu di sampingnya. Nampaknya pertanyaanku menarik buatnya. "Jenis batu di daerah kita sebenarnya banyak tapi belum mempunyai nama paten". Jawabnya singkat penuh arti. Aku bertanya kembali "Dari wilayah mana jenis batu akik yang bagus-bagus ini?". Telunjukku mengarah ke batu-batu koleksinya yang sengaja disimpannya ke dalam sebuah wadah khusus. Belum sempat dia menjawab, dua orang pencinta batu akik datang untuk meminta pesanan batu akiknya beberapa hari lalu. 

Bongkahan batu akik telah leluasa dijual bebas. Dijual bersandingan dengan sayur dan buah-buahan. Di lain kesempatan sepulangku dari tugas luar di daerah Kecamatan Mbeliling. Aku sempat menghentikan sepeda motorku persis di depan rumah penduduk yang memajang beberapa bongkahan batu aneka bentuk dan warna. Untuk menarik calon pembeli yang kebetulan lewat, bongkahan batu tersebut dijejer di atas sebuah batu besar yang difungsikan sebagai etalase. Aku bertanya kepada pemiliknya yang kebetulan sedang menekuri bongkahan batu itu tidak jauh darinya. "Berapa harga satu bongkahan batu ini, Om?". Aku memilih menunjuk bongkahan batu yang lebih kecil. "Seratus ribu". Katanya meyakinkanku. Wow, aku surut ke belakang bermaksud menyembunyikan rasa kagetku. Aku tidak menyangka kalau harganya semahal itu. "Kalau yang kecil saja harganya seperti itu, bagaimana dengan bongkahan lainnya yang lebih besar". Gumamku. Namun ada yang menggelitik ketika kutanyakan lebih lanjut jenis batu yang dijualnya. "Om, Ini jenis batu apa?". Dia berkilah "Wah, kalau jenis batunya saya tidak tahu. Saya hanya melihat kalau batu ini memiliki warna dan corak yang berbeda dari batu lainnya". 
Kegandrungan masyarakat Manggarai Barat terhadap batu akik mencapai level tinggi atau tidak berlebihan jika disetarakan dengan istilah kekinian yakni demam batu akik. Pikiran masyarakat telah bergeser dari sebelumnya menganggap batu akik hanya dipakai oleh dukun dan paranormal. Batu akik selalu diidentikkan dengan mistik dan magis namun kini batu akik telah menjadi fashion tersendiri. Orang-orang tidak lagi malu memenuhi jemarinya dengan cincin bertahtakan batu akik, menggantungkan liontin batu akik besar ke leher hingga menjuntai ke dada. Begitu percaya dirinya mereka mengenakan semua itu. Pada titik ini aku berkeyakinan, para pencinta batu akik telah memikirkan langkah inovasi kedepan untuk mengganti behel atau kawat giginya dengan nuansa batu akik. Ah, bisa saja...


*******

Fenomena batu akik sebentar lagi punah, hilang dan mungkin tak dikenang lagi. Penyebabnya sepele, ada fenomena baru yang menggantikan kepopulerannya. Apakah gerangan?

Genderang pilkada belum sepenuhnya ditabuh tapi gemanya sudah menghiasi relung hati dan pikiran masyarakat Manggarai Barat. Maklumlah, dalam hitungan bulan, daerah ini akan menyelenggarakan pesta demokrasi berupa suksesi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat. Masing-masing kandidat telah mencuri star duluan untuk memperkenalkan diri seturut dengan gagasan yang disampaikan kepada masyarakat pemilih. Mereka memilih mendahului jadwal resmi KPUD karena khawatir elektabilitasnya bakal merosot. Berbagai cara ditempuh untuk menggait minat masyarakat termasuk membentuk tim pemenangan atau Tim Sukses. 
Tim Sukses diharapkan mampu menjadi corong suara sekaligus tim perekrut massa yang bekerja layaknya sales multi level marketing (MLM) dalam mencari pelanggan. Rekrutisasi yang mengadopsi sistem pemasaran berjenjang ini menempatkan para kandidat calon kepala daerah berada pada posisi puncak dengan menggapai gold level.
Bila partai politik pendukung dianggap kendaraan politik, maka tidak salah bila menyamakan tim sukses sebagai motor penggerak karena keberhasilan kandidat dalam mentransformasikan program dan gagasan kepada masyarakat juga bergantung pada kelihaian tim sukses meyakinkan pemilih yang kebetulan berada pada posisi gamang menentukan pilihan terbaik. Tim sukses harus mampu memberikan argumentasi logis kepada masyarakat yang cenderung kritis. Sedikit berbicara keliru menjadi bumerang bagi kandidat yang diusungnya. Namun sayang, kebanyakan tim sukses yang ada lebih sering mengobral mimpi daripada gagasan konkret, lebih nyaman menjadi spionase dalam mengintai pergerakan lawan daripada door to door menyapa pemilih sekaligus membagikan alat peraga serupa kalender dan stiker, lebih garang mengintimidasi pemilih yang tak sejalan dibanding memelihara basis massa.

Segala sesuatu memang ada masanya, datang, singgah lalu pergi. Sama seperti tim sukses yang kini menjadi fenomenal menggantikan batu akik yang baru saja booming, setelah sebelumnya, ketenaran batu akik telah pula meruntuhkan keperkasaan istilah "view". 
Dan usia tim sukses pun kuyakin hanya seumur jagung...


Labuan Bajo, 11 Juni 2015