Monday, April 17, 2017

Setelah Membaca Buku Bunda Ana


Semula saya tidak pernah tertarik membaca buku insiratif, buku tips sukses dan buku psikologi pupuler. Bagi saya membaca buku semacam itu sungguh membosankan. Saya tidak pernah merasakan “kenikmatan” saat membaca buku-buku tersebut. Beda halnya dengan membaca buku non fiksi bertema lainnya seperti ekonomi, politik, sosial maupun agama, saya masih dapat menikmatinya. Untuk urusan membaca buku, saya paling suka membaca buku fiksi seperti novel dan komik. Sehingga wajar saja dari sekian banyak koleksi buku yang saya miliki, yang paling banyak memenuhi rak buku saya justeru novel dan komik. Kemudian disusul buku bertema agama, ekonomi, dan politik. Satu-satunya buku psikologi yang saya miliki adalah buku “tes psikologi”. Buku ini sengaja saya beli beberapa saat setelah diwisuda. Buku ini berisi kisi-kisi dan tips menghadapi tes psikologi dan tes wawancara saat akan melamar kerja di perusahaan.

***

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat undangan dari seorang sahabat untuk menghadiri pembukaan seminar parenting dengan tema “Menjadi Orang Tua Efektif: Mengasuh Anak Sesuai dengan Potensi Genetiknya”. Seminar yang dibawakan oleh Dr. Asriana Kibtiyah, S.Psi,M.Si. Seorang psikolog pendidikan yang sudah malah melintang di kancah permotivasian. Jujur saja, awalnya saya memutuskan untuk menghadiri acara pembukaan ini bukan karena terkesima dengan narasumbernya yang bergelar "Doktor" namun karena semata-mata ingin menghargai undangan sahabat saya ini yang kebetulan bertindak sebagai Ketua Panitia kegiatan seminar. 

Undangan Seminar
Meski acara pembukaan tidak sempat dihadiri oleh Bupati Manggarai Barat –hanya diwakilkan oleh Camat Komodo- undangan yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat cukup banyak yang hadir, menunjukkan mereka begitu antusias mengikuti acara pembukaan seminar ini. Di tengah acara berlangsung, narasumber seminar yang biasa akrab disapa Bunda Ana ini membagikan cenderamata secara simbolis kepada beberapa orang yang telah dipiih khusus oleh Panitia berupa buku karya terbaru dari sang bunda berjudul “Menjadi Orang Tua”.

Camat Komodo Membuka Seminar Parenting
Melihat cover buku dengan desain menarik, sedikit membuat saya terpikat. Saya betul-betul merasa penasaran terhadap isi buku tersebut saat ekor mata saya tidak sengaja membaca sub judul buku yang sedang dipegang oleh seorang bapak yang barusan menerima buku tersebut di atas panggung. Di sana tertulis kalimat inspiratif “Tidak Ada Kesempatan Kedua dalam Mengasuh Anak”. Sebuah kalimat pembangun jiwa yang membuat saya mantap harus bisa segera memiliki buku itu. Untuk sementara saya melupakan adagium “jangan melihat buku dari sampulnya”. 

Di akhir acara pembukaan seminar, saya menyempatkan diri membeli buku tersebut dengan harga yang relatif murah. Saya tidak pernah merasa rugi membeli sebuah buku sepanjang buku tersebut berkualitas. Di tahap ini, saya ingin segera larut membacanya, menyelami isinya, menimba ilmu yang ada di dalamnya dan menerapkan maknanya dalam kehidupan keluarga kecil saya.
Buku Karya Bunda Ana
Buku itu tidak terlalu tebal sehingga terkesan tidak menjemukan ketika memulai membacanya. Membaca sekilas buku ini kelihatan menarik. Betul saja, dalam mukaddimah, kurang lebih dua puluh halaman berisi testimoni 24 orang yang memberi apresiasi pada buku ini. Setelah larut membaca beberapa halaman pertama, saya lantas bisa mengambil kesimpulan bahwa materi buku ini terbilang ringan. Mudah dicerna dan dipahami karena Bunda Ana sengaja menggunakan bahasa sederhana untuk memudahkan proses transfer pengetahuan kepada para orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. 

Buku ini tidak sekadar berisi teori yang lahir dari sebuah hipotesa bagaimana mengasuh anak yang baik tetapi juga berangkat dari fakta dan pengalaman nyata Bunda Ana dalam mengasuh ketiga anaknya. Di sini Bunda Ana tidak hanya “omdo” (omong doang) tetapi menawarkan solusi mengasuh anak yang efektif dengan mengkombinasikan aspek teoritis dengan pengalaman pribadi hasil pendekatan interaksi intensif dengan ketiga anaknya sekaligus dengan lingkungannya.

Saya membaca buku ini hingga tuntas selama tiga hari. Terlalu lama untuk ukuran buku berhalaman kurang lebih 200 halaman. Apalagi besar huruf yang digunakan relatif besar. Belum lagi pada setiap bab disisipkan motto dari beberapa tokoh dunia terkenal yang dicetak dengan huruf cukup besar pula. Saya biasanya mampu melahap membaca novel setebal kitab suci dalam tempo dua hari. Itupun tidak terus-menerus bergumul dengan novel tersebut dari pagi hingga malam hari. Bahkan saya sering mengkhatam habis satu buah novel tebal dalam perjalanan udara dari Kupang-Labuan Bajo, atau sebaliknya yang hanya ditempuh waktu kurang lebih dua jam.

Waktu membaca buku Bunda Ana terbilang lama karena dalam setiap bab saya perlu merefleksikan kembali apa yang saya baca dan saya pahami terkait metode pengasuhan anak yang efektif dengan metode yang selama ini saya dan isteri saya terapkan dalam mengasuh anak kami. Untuk beberapa kasus, sebagai orang tua kami merasa metode pengasuhan anak yang selama ini kami terapkan sepertinya keliru.

Bunda Ana menyampaikan Materi Parenting
Anak adalah mutiara titipan Tuhan, sebagai anugerah sekaligus amanah. Oleh karenanya orang tua bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak-anaknya, agar mereka dapat tumbuh menjadi anak yang sehat, baik jasmani maupun rohani serta kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, berguna bagi diri sendiri dan sesama. Peran yang dijalankan orang tua ini kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pemberi Hidup.

Benar kata Bunda Ana, yang telah mengutip pendapat Virginia Satir, seorang penulis dan psikoteraphis dari Amerika yang dikenal luas sebagai “Ibu dari Terapi Keluarga” bahwa mengasuh anak bukanlah tugas yang mudah bahkan dapat dikatakan pekerjaan paling rumit. Setiap orang tua mungkin merasa telah melakukan yang terbaik demi anaknya, namun terkadang hasilnya berujung kurang bahagia –kalau tidak mau dikatakan tidak bahagia-. 

Untuk itu menjadi penting bagi orang tua untuk mengenal potensi anak, kemudian diasah dan dikembangkan dengan benar, maka keberhasilan sekaligus kebahagiaan hidup anak adalah sebuah keniscayaan. Mengasuh anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya akan membuat anak menjalani kehidupan dengan suka cita, sebaliknya orang tua merasa nyaman dan tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang tua idaman keluarga.

Potensi yang dimiliki anak layaknya sebuah pisau. Kelebihan berada pada sisi pisau yang tajam, sebaliknya kekurangan anak adalah sisi pisau yang tumpul dan mengarah ke atas. Orang tua harus cermat melihat kelebihan dan kekurangan anaknya. Kelebihan anak semestinya akan selalu diasah dan ditumbuhkembangkan hingga menjadi kekuatan anak. Sebaliknya kekurangan yang ada  pada diri anak tidak lantas membuat anak menjadi apatis, introver dan eksklusif.

Pola pengasuhan yang tidak mendikte anak untuk menjadi seseorang menurut kemauan orang tua atau sekadar mengikuti tren yang sedang berlangsung. Tidak juga menambah beban anak untuk menutupi kegagalan orang tua pada masa lalu. Di sini peran orang tua harus mampu berlaku adil. Memposisikan anak sesuai masanya karena setiap generasi memang memiliki masa dan tantangannya sendiri. Saya menggarisbawahi dengan dua garis bawah kalimat inspiratif dalam buku Bunda Ana “orang tua pernah menjadi anak-anak sedangkan anak-anak belum pernah menjadi orang tua, sehingga orang tualah yang harus menyesuaikan dengan kehidupan anak-anak”. 

Di bagian lain buku ini, Bunda Ana mengulas dengan runtut bagaimana berlaku sebagai orang tua yang bijak. Sebab seluruh tutur kata, sikap dan perbuatan orang tua akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Pada tahap ini, wajar ada ungkapan yang mengatakan bahwa anak adalah cerminan orang tua. Orang tua dituntut harus pandai menjadi teman sekaligus sahabat bagi anak-anaknya. Keterbukaan menjadi kata kunci di tengah komunikasi yang terbangun antara orang tua dan anak. Komunikasi yang disampaikan dengan jujur dan dituturkan dengan bahasa yang halus dan sopan diyakini akan memperkuat ikatan bathin antar keduanya.

Buku karya Bunda Ana, merupakan satu dari sekian buku psikologi popular cara mengasuh anak yang tersebar banyak di toko buku, selayaknya menjadi koleksi berharga bagi orang tua, baik yang telah lama berumah tangga, belum lama maupun yang akan berumah tangga. Karena dalam buku tersurat dan tersirat bagaimana memperlakukan anak agar anak tidak saja menjadi perhiasan tetapi juga penyejuk mata dan penenang jiwa orang tuanya.

Sebagai orang tua dari empat orang anak yang masih kecil, saya merasa buku Bunda Ana ibarat peta yang sangat membantu saya dalam menuntun biduk rumah tangga khususnya dalam hal mengasuh anak, bergerak ke arah mana nantinya. Belum terlambat kiranya apabila arah yang saya tuju kini meleset dari sasaran untuk selanjutnya memutar kemudi berbalik haluan. Sebab jauh di lubuk hati yang paling dalam saya berharap agar keempat anak saya dapat menjadi penyejuk hati dan pembawa kebahagiaan bagi kedua orang tuanya baik di dunia maupun di akhirat. Amiin

Terakhir, saya sedikit memberi saran kepada Bunda Ana agar pada edisi berikutnya buku ini disempurnakan lagi karena ada hal yang sifatnya memang bukan prinsipil namun sangat mengganggu saya sebagai pembaca dalam membaca. Maaf, terkesan banyak penggunaan tanda baca dan penulisan huruf yang salah yang sepertinya luput dari mata editor. Sukses selalu Bunda..Terima kasih..

Labuan Bajo, 18 April 2017





Thursday, April 13, 2017

Ironi Kehidupan Warga Kepulauan



Air adalah sumber kehidupan. Sejak awal kehidupan seluruh makhluk hidup terutama manusia sangat bergantung pada ketersediaan air demi menjaga kelangsungan hidupnya. Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi di samping energi dan bahan pangan. Tanpa ketiganya manusia tidak akan bisa hidup dengan layak. Air yang dibutuhkan selain tawar juga harus bersih dan layak dikonsumsi. Terkadang, kondisi ini tidak berlaku bagi warga di kepulauan. Di tengah apatisme, saat ini mereka hanya menuntut tersedianya air tawar. Bersih dan layak dikonsumsi menjadi urusan kemudian. 

Ilustrasi: Krisis Air Tawar di Kepulauan
Krisis air tawar di pulau-pulau kecil berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang masuk dalam wilayah laut Kabupaten Manggarai Barat telah menjadi permasalahan klasik yang tak kunjung diselesaikan secara sistemik. Air tawar telah menjadi sesuatu yang langka dan bernilai ekonomi tinggi. Bagaimana tidak, di tengah kondisi ekonomi warga kepulauan yang relatif rendah, mereka dituntut harus bisa membagi pengeluaran sehari-hari antara memenuhi kebutuhan dasar lainnya dan kebutuhan untuk membeli air tawar. Harga air tawar di pulau-pulau menjadi lebih mahal karena harus dipasok dari Labuan Bajo (kota kabupaten) menggunakan perahu nelayan. Bisa dibayangkan biaya yang dikeluarkan sekadar untuk mendatangkan se-jerigen, se-ember atau se-drum air tawar ke pulau. Saat laut tidak bersahabat, dimana ombak tinggi menghalangi pelayaran ke Labuan Bajo, membuat krisis air tawar di kepulauan berada pada titik nadir. Begitu sulitnya memperoleh air tawar, warga di kepulauan terpaksa menggunakan air laut untuk mandi, cuci dan kakus (MCK). Penggunaan air laut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sedikit berkurang saat musim penghujan datang. Pada saat air hujan turun membasahi tanah di kepulauan, seolah-olah inilah anugerah terindah yang dirasakan warga kepulauan. 

Melihat kondisi riil warga kepulauan bak anak tiri dan kurang mendapat perhatian, saya mencoba mengungkap beberapa ironi pembangunan yang kelihatannya masih mengedepankan pembangunan di daratan utama dan sebaliknya masih kerap memunggungi lautan dan pulau-pulau kecil.

Ironi Pembangunan antara Pulau Berpenghuni dengan Pulau (dulunya) Tidak Berpenghuni.  

Kabupaten Manggarai Barat memiliki gugusan pulau yang indah dan menarik baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Secara umum hampir seluruh pulau berpenghuni mengalami krisis air tawar. Sebut saja Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Papagarang, Pulau Messah, Pulau Kukusan, Pulau Seraya Besar dan Seraya Kecil, Pulau Boleng dan Pulau Longos. 

Krisis air tawar yang dialami warga pada beberapa pulau di atas, bertolak belakang dengan kondisi pulau-pulau kecil lainnya (sebelumnya tidak berpenghuni) namun kini telah berpenghuni karena telah dikuasai oleh pihak ketigaiInvestor (biasanya orang asing) melalui transaksi jual beli atau sewa-menyewa dengan warga pulau yang mengklaim sebagai pemilik pulau tersebut. Sederet pulau seperti Pulau Bidadari, Pulau Sebayur, Pulau Kanawa saat ini telah dikuasai oleh pihak ketiga. Di pulau-pulau tersebut, telah dibangun hotel (bungalow) dan restoran. Maklum saja dengan garis pantai putih yang membentang dan dipadupadankan dengan panorama pulau dan bawah laut yang memukau, pulau-pulau tersebut sangat prospektif apabila dikelola untuk usaha di bidang pariwisata. Untuk menjalankan bisnisnya lebih optimal, permasalahan air tawar harus segera ditanggulangi. Dengan kekuatan modal yang tidak terbatas, pihak ketiga ini (baca investor) memasang alat penyulingan air laut, yang dapat merubah rasa asin air laut menjadi air tawar bahkan bersih dan layak diminum. Dari sini nampak terlihat bahwa pulau-pulau yang dikuasai pihak ketiga (investor) tidak lagi merasakan kekurangan air tawar. Sementara pulau-pulau yang dihuni warga kepulauan masih tetap merana akibat krisis air tawar yang melanda.

Ironi Pembangunan di Kepulauan dan di Daratan Utama.

Secara kasat mata kita dapat melihat orientasi pembangunan di daratan lebih banyak dibandingkan dengan di wilayah kepulauan. Di daratan nampak terlihat geliat pembangunan di sana-sini. Beragam alasan demi memuluskan pembangunan di daratan. Lajur jalan yang baru dibuka dikerjakan dengan alasan untuk membuka aksesibilitas. Kondisi jalan ditingkatkan tiap tahun  berlindung pada kalimat untuk memudahkan mobilitas. Jembatan baru dibentang berbekal argumentasi sebagai penghubung wilayah terisolir. Irigasi dibangun untuk mengejar swasembada pangan. Jaringan listrik dan air bersih dipasang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pada titik ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa wilayah kepulauan sama sekali tidak tersentuh pembangunan karena jelas dapat dilihat pada beberapa pulau telah dibangun dermaga, jalan setapak dan tembok penahan gelombang. Saya tahu infrastruktur yang dibangun tersebut ditujukan untuk kepentingan warga kepulauan. Namun saya yakin kalau kita melakukan survey yang objektif untuk mengetahui kebutuhan mendasar warga kepulauan, sebagian besar -kalau mau tidak dikatakan seluruhnya- akan menjawab pemenuhan kebutuhan air tawar. Hal ini sekaligus menjawab bahwa pembangunan fisik lainnya selama ini belumlah bersifat urgen dan mendesak.

Ironi Pembangunan Sektor Pariwisata dengan Peningkatan Kesejahteraan Warga Kepulauan

Sebagai daerah yang menggalakkan pariwisata sebagai leading sector, sudah saatnya bagi daerah ini memperhatikan denyut nadi warga kepulauan. Meskipun keberadaan binatang langka komodo hanya terdapat di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, hal ini tidak lantas membuat warga di kedua pulau tersebut menjadi sejahtera padahal jumlah kunjungan wisatawan yang datang melihat langsung komodo di habitatnya dari tahun ke tahun terus meningkat. 

Warga di kedua pulau masih sering mengeluhkan masalah air tawar/bersih. Belum lagi berbicara dampak nyata yang dirasakan warga kepulauan di sekitar dua pulau besar tersebut. Kebijakan daerah seharusnya bergerak simultan. Sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau harus terlampaui. Harus diakui, pengembangan pariwisata daerah saat ini masih mengandalkan komodo sebagai daya tarik utama serta keindahan pulau-pulau sebagai destinasi wisata alternatif. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa wisata alam dan wisata bahari di kepulauan masih lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan wisata alam lain yang ada di daratan. Menjadi ironis manakala daerah ini gencar mempromosikan keelokan objek wisata pantai, karakteristik terumbu karang dan keunikan biota lautnya tanpa dibarengi upaya berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan warga lokal di kepulauan. Kerinduan mereka yang utama sebagai kompensasi dari dieksploitasinya wilayah kepulauan adalah terpenuhinya kebutuhan air tawar/bersih. Tentu dengan tidak menafikkan kebutuhan akan listrik/penerangan, fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Pada akhir tahun 2014 yang lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menggagas program desalinasi di Desa Papagarang yakni teknologi penyulingan air laut untuk menghilangkan kadar garam berlebih pada air laut sehingga menghasilkan air tawar yang dapat dikonsumsi dengan hasil produksi tinggi tetapi menggunakan energi yang murah dan ramah lingkungan. Namun program tersebut tidak berlangsung lama, belakangan saya mendengar alat penyuling air laut tersebut mengalami kerusakan. Selain tidak adanya biaya pemeliharaan atas kerusakan alat, saya menduga operator yang mengoperasikan alat ini tidak mendapatkan pelatihan dan pendampingan yang memadai sehingga pada saat alat ini mogok bekerja lantas dibiarkan teronggok begitu saja.  

Program desalinasi tidak menjangkau semua desa di kepulauan. Padalah dalam satu desa terdapat dua sampai tiga pulau kecil berpenghuni yang jaraknya satu sama lain cukup jauh masih merasakah kekurangan air tawar. Mungkin saja alat penyulingan ini mahal harganya karena mesti diimpor dari luar negeri. Namun kalau benar pemerintahan saat ini konsekwen dengan program nawacita membangun dari pinggir, dari daerah perbatasan dan kepulauan, saya rasa harga alat yang mahal sekalipun bukan menjadi alasan rasional yang dapat diterima. Pada titik ini, saya sulit memahami bagaimana mau meningkatkan kesejahteraan warga kepulauan kalau air tawar saja masih menjadi mimpi panjang mereka. 

*** 
Pulau Kelor dari Ketinggian
Di satu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah mendampingi Tim dari Kemendagri mengunjungi Pulau Rinca untuk melihat langsung komodo di habitatnya. Kami menyempatkan diri singgah di Pulau Kelor. Menikmati sejenak keindahan pulau ini. Tim dari pusat tidak mau kehilangan momentum. Mereka terlihat asyik memanjakan diri dengan berenang atau sekadar berendam di lautnya. Ada yang terlihat sibuk menyusuri pantai dengan hanya bermain pasir. Ada pula yang nekat naik ke atas puncak gunung untuk menikmati keindahan pulau dari ketinggian. 
 
Pulau Kukusan
Semburat kekecewaan nampak tergambar dari wajah mereka saat saya mengingatkan untuk segera menghentikan aktivitas sementara karena harus menunaikan sholat jumat yang waktunya sudah hampir dekat. Sebenarnya bisa saja kita memburu waktu untuk sholat jumat di Labuan Bajo namun salah satu pejabat menginginkan untuk sholat jumat di pulau terdekat. Akhirnya Pulau Kukusan yang menjadi pilihan yang masuk akal. Pulaunya hanya sepelemparan batu dari Pulau Kelor.

Bersama Tim dari Pusat di Dermaga Pulau Kukusan
Tanpa membilas tubuh dengan air tawar karena persediaan air tawar di kapal yang kami tumpangi habis, mereka langsung berganti pakaian. Tiba di masjid Pulau Kukusan tepat saat khatib hendak naik ke atas mimbar. Kesulitan air tawar sungguh terasa saat kami akan berwudhu. Kran air tempat wudhu tidak mengeluarkan air. Toilet dan kamar mandi terkesan tidak terawat. Bahkan dipenuhi kotoran kambing. Bau busuk menyeruak menyegel hidung. Karena tidak tersedianya air tawar, sepertinya toilet dan kamar mandi ini telah beralih fungsi menjadi kandang kambing warga. Seorang ibu menawarkan air tawar untuk kami berwudhu. Dari rasanya saya menduga itu adalah air hujan yang turun semalam dan sengaja ditadah untuk persediaan keluarganya beberapa hari ke depan. 
Miris, Tempat Wudhu yang Dipenuhi Kotoran Kambing

Toilet dan Kamar Mandi Beralih Fungsi Menjadi Kandang Kambing
Selepas sholat saya iseng berdialog dengan anak-anak di teras masjid.

"Kenapa rambutmu merah, sengaja dipirang kah?" Pertanyaan retorik yang jawabannya sudah saya ketahui.
"Terlalu sering mandi air laut" Kata anak itu dengan ekspresi malu-malu.
"Memang tidak ada air tawar?" Saya terus menimpali.
"Air tawar hanya dipakai untuk memasak dan untuk minum". Jawaban miris dari mulut seorang bocah kelas dua SD.
"Berarti kalian mandi pakai air laut sebelum ke masjid tadi?" Tanyaku terus.
"Setiap hari kami mandi air laut. Pagi hari sebelum ke sekolah, siang hari setelah mengaji dan sore hari sebelum sholat maghrib" Anak itu bertutur panjang yang membuat teman-teman dari pusat menggelengkan kepala. 

Anak-anak Pulau Kukusan yang Sedang Mandi di Laut
Pulau Kukusan, satu dari beberapa pulau berpenghuni di Kabupaten Manggarai Barat yang hingga kini belum mandiri dalam penyediaan air tawar/bersih. Air tawar apalagi air bersih dan air layak minum masih menjadi janji yang selalu terngiang saat musim kampanye menjelang. Belum terealisir atau mungkin dilupakan. Saya hanya berpikir, belum terlambat apabila pengambil kebijakan memutar arah kebijakan dengan memprioritaskan pembangunan di kepulauan melalui pemenuhan kebutuhan dasar berupa penyediaan air tawar/bersih bagi warga kepulauan. Sebab dari raut wajah anak-anak kepulauan, saya dapat menangkap perasaan kebosanan atas kondisi krisis air tawar/bersih selama ini. Mereka menitip pesan melalu senyum getirnya, agar kedepan mereka dapat memanfaatkan air tawar/bersih untuk mandi ke sekolah dan bersuci ke masjid atau ke tempat mengjia. Sebab sabun dan shampo yang digunakan selama mereka mandi tak pernah sempurna berbusa di kulit tubuh dan kepala mereka. 

Senyum Getir Anak-anak Pulau Kukusan bersama Tim dari Pusat

Di tengah perjalanan pulang...Labuan Bajo, 7 April 2017 


 

Sunday, April 9, 2017

Sebuah Pesan dibalik Pasar Malam (rona-rona)

Bianglala atau Keranjang Putar
Anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu merengek. Menarik tangan bapaknya kuat-kuat hingga badannya terhuyung ke depan. Melewati sela-sela sempit orang-orang yang berdiri berdesakan. Dari tadi ia memaksa bapaknya agar mengikuti keinginannya. Mencoba wahana permainan lain yang ditawarkan di Pasar Malam. Anak itu ingin merasakan sensasi yang berbeda ketika mencoba satu persatu wahana yang ada. Sebenarnya tidak masalah bagi bapaknya mengeluarkan sejumlah uang sebagai tarif masuk yang harus dibayar. Bapaknya hanya kewalahan ketika harus berdesakan antri membeli tiket masuk karena setiap loket dan pintu masuk wahana telah berjubel orang-orang tua dan anak-anaknya masing-masing. 

Ada pemandangan yang berbeda kala kita melewati jalan dari arah Kampung Ujung Labuan Bajo pada malam hari. Di sebelah kiri jalan tepatnya di lapangan sepak bola Kampung Ujung nampak terlihat keramaian manusia yang memadati areal tersebut. Suara riuh mereka bercampur satu dengan deru mesin genset yang dibunyikan. Semburat cahaya warna-warni menghiasi setiap sudut yang dulunya tanah kosong membentuk "aurora" indah. Di tengah lapang berdiri dengan megah aneka wahana pertunjukkan dan stand-stand pedagang kaki lima dadakan. Kendaraan mengular diam di sisi jalan. Rupanya lapangan sepak bola ini dipilih sebagai tempat pertunjukkan pasar malam (rona-rona) selama satu bulan penuh. Tak bisa dipungkiri bahwa pasar malam menjadi semacam pengobat kerinduan masyarakat Labuan Bajo terhadap hiburan saat ini. Hal ini terlihat jelas dari antusiasme masyarakat yang datang setiap malam selalu ramai. Sesuai namanya, pasar malam memang bergeliat hanya pada malam hari. Transaksi jual beli aneka barang dan jasa juga berlangsung pada malam hari.

Sesungguhnya justeru yang membuat pasar malam begitu menarik adalah keberadaan wahana permainan untuk anak-anak dan pertunjukkan atraksi menantang yang ditujukan khusus untuk orang dewasa. Memang wahana permainan anak yang tersaji belum dapat disandingkan dengan jumlah dan jenis wahana di taman hiburan anak terkenal sekelas Dineyland di Hongkong atau Dufan di Jakarta. Namun dengan adanya kereta api mini, komidi putar dengan berbagai karakter binatang dan model kendaraan, istana balon serta bianglala atau keranjang putar, anak-anak terlihat sudah sangat terhibur. Ketika anak-anak terlihat riang gembira dengan senyum dan gelak yang tak henti-hentinya, disitulah orang tua merasa bahagia. 

Rumah Balon
Yang tidak kalah menarik pertunjukan atraksi menantang yang dilakukan oleh orang profesional seperti sulap atau akrobatik berbahaya. Pertunjukan ini sengaja menyasar orang dewasa sebagai penontonnya. Tumben malam itu saya tidak tertarik menontonnya.   Saya hanya mendengar dari penonton yang barusan keluar dari arena mencekam itu, dengan keahlian khusus yang dimiliki katanya pesulap/akrobat (seolah-olah) memotong lidahnya sendiri. Suara orang berteriak terdengar hingga keluar arena. Bahkan suara histeris penonton menyembul dari segala penjuru arena saat melihat darah keluar dari lidah pesulap yang disayat. Penonton wanita menutup matanya rapat-rapat. Saya sempat merasa geli sendiri melihat mereka yang masih nekat menonton padahal sejatinya mental mereka tidak kuat menyaksikan atraksi berlangsung. Atraksi ini mengingatkan saya pada seni debus yang sangat familiar di daerah Banten. 

Di salah satu dua sudut lokasi pasar malam juga berdiri stand permainan ketangkasan. Jika bukan dilangsungkan di arena pasar malam yang mengantongi ijin resmi, permainan menguji ketangkasan ini dapat dikategorikan judi. Bagaimana tidak, hanya dengan mengorbankan sedikit uang, pemain mengharapkan keuntungan atau hadiah yang bernilai besar dengan bergantung pada peruntungan dan kemahiran atau ketangkasan belaka. Seorang ahli hukum pun tahu bahwa memang beda tipis antara judi dan hiburan di tempat seperti ini. Sebut saja permainan lempar gelang dan permainan menegakan botol menggunakan tongkat yang dipasangkan seutas benang kasur. Untuk permainan lempar gelang, pengunjung diwajibkan membeli gelang yang dibuat khusus dari selang kecil atau rotan dengan harga Rp.5 ribu untuk enam gelang. Gelang tersebut kemudian dilemparkan ke dalam kotak jam tangan. Apabila gelang masuk melingkari kotak jam tangan dengan sempurna, maka jam tangan yang ada di dalamnya menjadi milik kita. Saya melihat seorang anak remaja berhasil menggondol pulang jam tangan setelah gelang yang dilempar untuk kesekian kalinya masuk melingkar nyaman di kotak jam tangan yang dipajang. Saya pun penasaran untuk mencobanya. Apa daya hingga lemparan gelang tak terhitung, belum pernah sekalipun gelang itu masuk. Terlihat mudah namun sesungguhnya itu sangat sulit dilakukan. 


Permainan Ketangkasan: Lempar Gelang
Khawatir uang saya hilang begitu saja untuk satu permainan yang sulit saya taklukkan, saya memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan beralih ke permainan ketangkasan lainnya yakni menegakan botol kecil kosong pada bidang miring menggunakan tongkat yang diikatkan benang kasur dan ujungnya dikaitkan dengan gelang dan gelang inilah yang kemudian bersentuhan langsung dengan mulut botol limbah minuman suplemen dewasa. Permainan ini mirip orang memancing dengan tarif Rp.5 ribu untuk lima kali kesempatan. Apabila sukses menegakan botol, silahkan memilih sendiri hadiah yang ada dibelakang seperti gitar, handpone dan boneka ukuran besar. Dalam beberapa kali percobaan, botol kosong itu selalu saja nyaris berdiri tegak. Saya melupakan ambisi membawa pulang gitar yang diming-imingi karena saya menyadari disaat botol tersebut nyaris berdiri tegak justeru disitulah rasa penasaran berkecamuk di pikiran. Kalau tidak segera dihentikan niscaya uang yang ada didompet tak terasa menguap begitu saja. 

Butuh Kesabaran Menegakan Botol
Seusai mengelilingi setiap sudut lokasi pasar malam, saya tidak menemukan arena atraksi tong setan atau tong maut. Pantas saja saya merasa ada sesuatu yang kurang padahal dari dahulu pasar malam selalu identik dengan pertunjukan atraksi tong setan/tong maut ini. Atraksi dimana pengendara motor mengendarai sepeda motor dengan kecepatan maksimal bergerak leluasa dalam wadah yang berbentuk tong dengan diameter tidak terlalu besar. Saya menduga mungkin minat remaja yang menggeluti atraksi ini dari masa ke masa terus berkurang karena begitu tingginya resiko kecelakaan yang mungkin terjadi bahkan hingga merenggut nyawa pengendaranya seketika. Jangankan menjadi pengendara, menjadi penonton yang menyaksikan atraksi saja membutuhkan nyali yang luar biasa.

Tak bisa dipungkiri, keberadaan pasar malam atau rona-rona di Labuan Bajo setidaknya mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang haus akan hiburan khususnya hiburan yang digelar pada malam hari. Tengok saja perhelatan Festival Komodo dan Gebyar Undian BPD se-Indonesia yang digelar di Labuan Bajo beberapa waktu lalu, hampir tidak ada ruang kosong di sekitar panggung acara yang dapat dipijak. Masyarakat dari berbagai kalangan tumpah ruah memenuhi lokasi acara. Pun pertunjukkan pasar malam yang selalu disesaki penonton tiap malamnya. Pemerintah Daerah seharusnya mampu menyediakan tempat hiburan rakyat yang dapat diakses masyarakat pada malam hari sebagai kompensasi dari minimnya tempat hiburan yang murah meriah dan mudah diakses di siang hari. Pantai Pede yang selama ini menjadi satu-satunya pilihan favorit masyarakat Labuan Bajo, saat ini terkesan tidak terawat akibat tidak adanya kepastian kepemilikan lahan antara Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat. Masing-masing dari mereka mengklaim sepihak lahan Pantai Pede. Kedua tingkatan pemerintahan ini rupanya alpa bahwa Pantai Pede adalah ruang interaksi publik masyarakat. Tempat masyarakat menghilangkan penat dan stres sekaligus tempat berkreasi menyalurkan bakat dan kreativitas.
Terlihat Bule Bersama Keluarga Kecilnya
Pasar malam apabila dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin menjadi sarana pariwisata yang dapat menarik wisatawan untuk datang berkunjung ke daerah ini. Saya melihat sendiri ada bule bersama keluarga kecilnya datang ke pasar malam dan menikmati seluruh wahana dan pertunjukkan yang ada. Pada bagian lain sepasang bule tengah sibuk mengabadikan gambar ekspresi wajah remaja yang sedang asyik menaiki wahana puting beliung atau gelombang putar. Sinyal positif ini seharusnya dapat direspon dengan sigap oleh Pemerintah Daerah. Saya yakin meski dalam hitungan empat minggu, jumlah uang yang beredar selama pertunjukkan pasar malam dapat menembus angka ratusan juta. Sebagai seorang yang sedikit banyak memahami ekonomi, jumlah uang sebesar tersebut tentu dapat memberi efek domino (multiplier effect) pada perekonomian daerah. Seharusnya pertunjukkan pasar malam menjadi kebijakan daerah dan menjadi even tahunan rutin dan dikemas lebih menarik seperti Shilin Night Market yang digelar setiap malam di Kota Shilin, Taiwan. Pada titik ini saya optimis kedepan Labuan Bajo Night Market akan menjadi kenyataan. Layak kita tunggu.

Rona-rona Kampung Ujung Labuan Bajo, 25 Maret 2017